METODE
PENELITIAN BAHASA DAN SASTRA DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN
BAGIAN I
GAMBARAN UMUM
PENELITIAN PEMBELAJARAN BAHASA
1.1 Tujuan Penelitian Pembelajaran Bahasa
Penelitian merupakan art and science
guna mencari jawaban terhadap permasalahan (Yoseph dan Yoseph dalam
Syamsuddin dan Damaianti, 2006:2). Karena merupakan seni dan ilmiah, penelitian
memberikan ruang-ruang yang akan mengakomodasikan adanya perbedaan tentang
konsep penelitian.
Penelitian dapat pula
diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan bertujuan mencari jawaban
permasalahan atau proses penemuan, baik discovery
atau invention. Discovery diartikan
sebagai hasil penemuan yang sebetulnya memang sudah ada. Invention dapat
diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan
dukungan fakta.
Secara umum tujuan kegiatan penelitian
adalah menjelaskan dunia di sekitar kita melalui upaya yang sistematis (Kamil,
1995). Berdasar pada rumusan tersebut, tujuan penelitian pendidikan/pembelajaran
bahasa adalah upaya yang sistematis untuk menjelaskan, memahami, memecahkan,
dan mengantisipasi masalah-masalah pendidikan/pembelajaran bahasa.
Secara rinci tujuan penelitian pendidikan/pengajaran
bahasa adalah sebagai berikut:
a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau
strategi baru dalam pendidi-
kan/pembelajaran bahasa;
b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan
teori, model, strategi pendi-
dikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran
bahasa;
c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau
hubungan berbagai isu atau
pikiran
yang terkait dengan masalah bahasa.
d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran
bahasa;
e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah pendidikan/pembelajaran
bahasa;
f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai
pendidikan/pembelajaran bahasa.
Masalah pendidikan/pembelajaran
bahasa mencakup masalah-masalah linnguistik atau kebahasaan dan keterampilan
berbahasa. Masalah linguistik yang menjadi fokus penelitian pendidikan/pembelajaran
bahasa di antaranya adalah fenomena-fenomena linguistik yang terkait dengan
penutur bahasa dan penggunaan bahasa. Masalah lain yang berhubungan dengan
penelitian/pembelajaran bahasa ialah bagaimana mengidentifikasi sifat-sifat
bahasa serta model-model pengembangannya. Adapun masalah keterampilan berbahasa
yang menjadi fokus penelitian bahasa mencakup keterampilan membaca, menulis,
berbicara, dan mendengarkan.
1.2 Tujuan Penelitian Membaca dan Menulis
Penelitian membaca didasari dan
dipengaruhi oleh penelitian-penelitian psikologi. Pada awal abad ke-20 sampai
tahun 1960-an, penelitian difokuskan pada bagian-bagian keterampilan membaca.
Selanjutnya, penelitian membaca menghasilkan pemikiran yang sistematis tentang belajar
membaca (Kamil, 1995). Penelitian murni
tentang membaca berupaya menjelaskan peristiwa-peristiwa membaca yang ada di
sekitar kita dan berupaya untuk mengembangkan pengetahuan tentang membaca yang
berpengaruh pada penemuan teori membaca. Selanjutnya, teori yang telah dirumuskan
diharapkan dapat menjelaskan berbagai permasalahan membaca. Misalnya, dengan
teori tersebut kita dapat menjawab apakah membaca itu, siapakah yang
melakukan kegiatan membaca, serta kapan, bagaimana, mengapa, di mana peristiwa
membaca terjadi.
Dari berbagai penelitian,
teori-teori membaca semakin lengkap. Teori ini kemudian dikembangkan dalam
penelitian membaca terapan untuk menjelaskan berbagai peristiwa membaca yang
ada di sekitar kita dan memecahkan permasalahan membaca dalam kehidupan
sehari-hari.
Dari waktu ke waktu
permasalahan membaca lebih banyak berupa isu tentang membaca terapan karena
adanya kebutuhan dan keinginan berupa penerapan teori membaca dalam kegiatan
pendidikan, pengajaran, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih
banyak teori membaca yang tidak dapat memecahkan permasalahan pendidikan dan
pengajaran membaca. Hal ini menyebabkan pentingnya pemberian informasi secara
terus-menerus dari pendidik dan pengajar tentang permasalahan yang
ditemukannya.
Hasil penelitian membaca
seharusnya dapat diaplikasikan dalam setting yang tepat. Hasil penelitian yang
baik dapat menjadi umpan balik bagi kerangka kerja atau model kegiatan yang
sedang berlangsung. Ruang lingkup penelitian membaca terapan meliputi evaluasi
program membaca individual atau kelompok, metode, teknik, atau strategi
pembelajaran membaca, serta model-model pembelajaran membaca. Untuk menentukan
variabel dan metodo1ogi dilakukan berdasarkan titik pandang permasalahan
membaca serta teori membaca.
Penelitian membaca di satu
sisi, sebenarnya, tidak terlampau berbeda dengan penelitian menulis.
Permasalahan penelitian menulis diarahkan pada peningkatan pemahaman dan
kemampuan menulis serta penjelasan proses menulis. Akhir-akhir ini penelitian
menulis lebih holistik cakupannya (Shaughnessy, 1977). Selanjutnya, penelitian
menulis berkembang ke arah pengkajian bagian bagian dan proses menulis (Hayes
and Flower, 1980).
Baik penelitian bidang membaca
maupun penelitian bidang menulis banyak dipengaruhi model dan teori membaca dan
menulis. Ada tiga model yang mempengaruhi penelitian membaca dan menulis, yaitu:
a. model bottom-up atau model keterampilan,
dengan tokoh penelitian membacanya
adalah
Cough, Alford, Holley-Wilcox (1972) dan tokoh penelitian menulis dengan
model ini
adalah Warriner dan Griffith (1977);
b. model top-down atau holistik, dengan
tokoh penelitian membacanya adalah
Goodman Smith (1971) dan tokoh penelitian
menulis dengan model ini adalah
Britton (1970);
c. model interaktif atau keseimbangan, dengan
tokoh penelitian membacanya adalah
Rummelhart (1977) dan tokoh penelitian menulis
melalui model ini adalah Hayes
dan Flower (1980).
Penelitian kontemporer dalam
membaca dan menulis banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif, psikologi
sosial, linguistik, antropologi, teori belajar, ilmu komputer, dan praktik
pendidikan. Beberapa penelitian membaca dan menulis bertujuan memahami sifat-sifat
dasar dan teori-teori proses membaca. Upaya-upaya itu termasuk menghasilkan
model-model dan teori-teori proses membaca, misalnya, penelitian yang banyak
dihasilkan oleh Singer & Ruddeil (1976), Carver (1977-1975).
Tujuan lain penelitian membaca
dan menulis adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan membaca dan
menulis, baik di dalam kelas maupun pada seting lainnya.
1.3 Tujuan Penelitian Berbicara dan
Mendengarkan
Penelitian pendidikan berbicara
dan mendengarkan pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah
peningkatan kemampuan berbicara dan mendengarkan serta mengatasi masalah
kesulitan berbicara dan mendengarkan. Melalui penelitian eksperimen, kesulitan berbicara
dan mendengarkan dapat dilakukan dengan mengkaji atau menelaah faktor-faktor
sebab-akibat kesulitan berbicara dan mendengarkan. Salah satu contoh
penelitiannya ialah tentang melihat pengaruh model pembelajaran berbicara untuk
meningkatkan kemampuan berbicara; melihat pengaruh suatu terapi terhadap
perilaku seseorang yang mengalami kesulitan berbicara. Pertanyaan penelitian
yang muncul adalah apakah suatu model pembelajaran dapat meningkatkan
kemampuan berbicara? Apakah terapi menyebabkan perubahan dalam perilaku berbicara?
Adakah pengaruh keter- lambatan simakan terhadap kemampuan berbicara?
Ada empat karakterisik penelitian
eksperimen dalam bidang berbicara dan mendengarkan, yaitu sebagai berikut.
(1) Eksperimen diawali dengan maksud, tujuan, pertanyaan,
atau hipotesis tentang
masalah atau perilaku khusus tentang berbicara
atau mendengarkan.
(2) Eksperimen dapat mengontrol berbagai variabel
yang diperkirakan menyebabkan
perilaku khusus mengenai berbicara atau mendengarkan.
(3) Penelitian eksperimen dapat dirancang secara
sistematis untuk memberikan
perlakuan terhadap kelompok yang dijadikan
subjek penelitian.
Penelitian lain dalam bidang berbicara
dan mendengarkan bertujuan mendeskripsikan perbedaan kemampuan berbicara dan
mendengarkan dua kelompok subjek penelitian, menggambarkan kecenderungan
perkembangan kemampuan berbicara dan mendengarkan dan menggambarkan hubungan
antara kemampuan mendengarkan dan berbicara.
Pada penelitian deskriptif, peneliti
tidak melakukan manipulasi terhadap kondisi-kondisi yang sedang diteliti. Ada
empat tipe penelitian deskriptif dalam bidang ini, yaitu: (1) komparasi, (2)
perkembangan, (3) hubungan, dan (4) survei.
Penelitian kesejarahan dapat pula dilakukan untuk
membuat generalisasi mengenai hubungan di masa lain tentang faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam berbicara atau mendengarkan
serta implikasinya pada kemampuan mendengarkan dan berbicara pada saat ini.
Strategi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah merekam atau mencatat gambaran peristiwa masa lalu yang terkait
dengan kemampuan seseorang dalam berbicara dan mendengarkan. Kemudian peneliti
menganalisisnya serta mensintesiskannya ke dalam materi yang sedang diteliti,
yaitu yang berkenaan dengan masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan.
1.4 Pentingnya Penelitian Pendidikan/Pengajaran
Bahasa
Memecahkan suatu masalah
merupakan tugas utama peneliti. Melalui penelitian seseorang dapat menunjukkan
suatu bukti. Penelitian dapat mengurangi ketidakpastian. Dengan meneliti, seseorang
dapat memperoleh hasil dari suatu tujuan yang ditetapkan.
Dalam pendidikan/pengajaran bahasa,
ada beberapa alasan tentang penting-nya penelitian. Alasan tersebut dapat
dilihat di antaranya melalui beberapa faktor sebagai berikut.
a. Pendidik
Untuk melaksanakan proses pendidikan
yang berkualitas diperlukan keputusan-keputusan profesional. Keputusan tersebut
sangat penting sebab akan berpengaruh dalam jangka pendek maupun jangka panjang
terhadap siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat. Sebagai contoh, untuk
meningkatkan motivasi membaca siswa, peneliti harus membuat keputusan tentang
upaya yang tepat yang dapat dilakukan guru, orang tua siswa, dan lingkungan
sekitar siswa. Dari hasil penelitiannya DeRita dan Weaver (dalam Syamsuddin dan
Damaianti, 2006:7) dapat memutuskan
bahwa guru dapat memberikan strategi drama untuk meningkatkan motivasi membaca
siswa. Di samping itu, orang tua hendaknya memberikan fasilitas memadai serta
model yang mendukung peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar
sangat efektif dalam memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi
membaca siswa dengan didirikannya rumah baca atau sanggar baca.
Sebagian besar pendidik
membuat keputusan berdasarkan pada beberapa sumber, misalnya pengalaman
pribadi, pendapat ahli, pendapat umum, intuisi, dan akal sehatnya untuk
memutuskan sesuatu. Berbagai sumber tersebut dapat saja digunakan dalam membuat
keputusan, tetapi keputusan yang diambil berdasarkan penelitian ilmiah adalah
yang paling tepat.
b. Masyarakat Umum
Lingkungan masyarakat, kelompok
profesional, organisasi masyarakat, memerlukan studi khusus untuk menentukan
kebijakan dalam kegiatannya. Sebagai contoh, kelompok direksi membutuhkan
strategi berbicara yang tepat agar gagasannya dapat dimengerti dan dilaksanakan
oleh anggota yang dipimpinnya.
c. Penentu Kebijakan
Sebagian dari para penentu
kebijakan lebih menyenangi penelitian yang berdasarkan pada informasi yang
berselaras dengan masalah kebijakan tertentu. Sebagai contoh, penelitian
dibutuhkan untuk menentukan standar kebahasaan dan penilaian kebahasaan.
Valencia & Wixson (2000) menjelaskan berbagai kemungkinan penelitian terkait
dengan hal tersebut, di antaranya perilaku berbahasa siswa, deskripsi prestasi
berbahasa siswa, dan penelaahan pokok-pokok bahasan bahasa.
Bagaimana pentingnya
penelitian pendidikan, khususnya pendidikan bahasa juga dapat dilihat dengan
memeriksa fungsi-fungsi dan penggunaan jenis penelitian tersebut. Fungsi
penelitian dapat dilihat dalam berbagai hal, di antaranya, yaitu fungsi
penelitian dasar, fungsi terapan, dan fungsi evaluasi.
a. Fungsi penelitian dasar, yaitu untuk menguji teori dengan sedikit
atau tanpa
aplikasi hasil penelitian pada masalah
praktis. Secara khusus berkenaan dengan
mengetahui, menerangkan, dan memperkirakan
fenomena alam dan sosial.
Penelitian
dapat dimulai dengan suatu teori, prinsip dasar, atau suatu generalisasi.
b. Fungsi terapan, yaitu untuk suatu bidang praktik dan berkenaan
dengan aplikasi
pengetahuan berdasarkan riset mengenai praktik
tersebut.
c. Fungsi evaluasi, yaitu menilai kebaikan, kelayakan, atau
kebermanfaatan suatu
praktik. Praktik yang dievaluasi bisa berupa
pelaksanaan program atau
penggunaan hasil.
Informasi yang dapat
dipercayalah yang diharapkan oleh masyarakat, yaitu informasi dari penelitian.
Kegiatan penelitian yang dapat menggambarkan dan mengukur fenomena secara
akurat merupakan sumber pengetahuan yang paling baik dibandingkan dengan
kebenaran yang didapatkan secara non ilmiah.
1.5 Sifat Penelitian Pendidikan Bahasa
Karena kegiatan penelitian
dipandang sebagai metode ilmiah, karakteristik atau sifat metodologi penelitian
pendidikan bahasa sama dengan bidang-bidang lainnya. Menurut Tuckman (1982),
Nunan (1992), McMillan & Schumacher (2003), Sukardi (2003) sifat metodologi
penelitian pendidikan bahasa adalah sebagai berikut.
a. Bertujuan
Penelitian mutlak memiliki
tujuan yang dapat memberikan arah dan target yang hendak dicapai. Tujuan ini
dapat dipakai sebagai tolok ukur dan penilaian ketercapaian hasil penelitian.
b. Sistematis
Penelitian merupakan proses
yang terstruktur sehingga diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan penelitian yang baik dilakukan secara terencana
dan sistematis sejak tahap awal ditentukannya per-masalahan penelitian sampai
dengan penarikan simpulan hasil penelitian. Sistematika permasalahan tersebut
dituangkan ke dalam langkah-langkah proses penelitan.
Langkah-langkah dalam proses
penelitian akan bergantung pada pendekat-an/metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian. Penelitian positivistik kuantitatif tentu akan berbeda
sistematikanya dengan pendekatan naturalistik/kualitatif.
c. Objektif
Objektivitas mengacu kepada
kualitas data yang dihasilkan oleh prosedur yang dapat mengontrol
subjektivitas. Penelitian itu ada objek yang diteliti. Untuk dapat memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah, sebuah penelitian, benar-benar memerlukan
data dan objek yang diteliti.. Karena objek tersebut dapat diindera manusia,
semua pihak akan memberikan persepsi yang sama terhadap objek itu. Akan tetapi,
karena keterbatasan kemampuan indera manusia dalam melakukan pengamatan,
peneliti dapat menggunakan alat-alat bantu, seperti instrumen penelitian.
Instrumen ini harus melalui uji validitas dan reliabilitasnya agar lebih
akurat.
d. Logis
Penelitian dilakukan melalui
langkah-langkah yang sistematis, yaitu dengan urutan atau proses berpikir yang logis,
sehingga validitas internalnya secara relatif dapat dipenuhi. Dengan demikian,
simpulan dan generalisasi akan mudah dicek kembali oleh peneliti maupun oleh
pihak lain.
Peneliti dapat melakukan
penelitian melalui langkah-langkah logis, baik secara deduktif maupun induktif.
Secara deduktif, peneliti melakukan penelitian dari suatu pernyataan umum ke
simpulan khusus. Sebaliknya, penelitian dapat dilakukan secara induktif, yaitu
bila peneliti mencapai suatu simpulan dengan mengamati kasus tertentu kemudian
membentuk generalisasi. Simpulannya terbatas pada kasus yang diamati.
e. Empiris
Penelitian berkenaan dengan dunia
empiris/nyata yang dapat diindera oleh pancaindera manusia yang bersifat
objektif. Karakteristik sebuah penelitian dilihat melalui pendekatan yang
empiris. Bagi peneliti, bukti adalah data, yaitu hasil-hasil nyata yang
diperoleh melalui penafsiran dan penyimpulan dari suatu penelitian (McMillan
& Schumacher, 2003).
f. Reduktif
Bila sebuah penelitian
menggunakan prosedur yang analitis untuk menda-patkan data, sebenarnya peneliti
telah mereduksi berbagai kebingungan tentang suatu fenomena atau masalah.
Fenomena itu semula tidak dimengerti dan membingungkan. Akan tetapi, dengan
penelitian yang tepat, fenomena atau kejadian itu dapat diketahui maknanya.
Proses reduksi sebenarnya
merupakan bagian dari usaha menerjemahkan realitas menjadi kenyataan yang
bersifat konseptual sehingga dapat digunakan untuk memahami hubungan kejadian
yang satu dan kejadian lainnya.
g. Replicable dan Transmitable
Suatu penelitian kuantitatif
pada umumnya dapat diulangi oleh peneliti lain untuk mengecek kebenarannya.
Agar dapat diulang dengan mudah, laporan penelitian harus dibuat secara
sistematis dan jelas, mulai dan kejelasan variabel, populasi dan sampel, prosedur
mendapatkan sampel, instrumen, uji hipotesis, data yang dihasilkan, analisis
hasil, sampai pada simpulan dan saran yang diajukan.
Selama itu, penelitian
pendidikan bahasa harus bersifat transmitable, artinya penelitian
harus mampu memecahkan masalah-masalah sehingga dapat digunakan oleh berbagai
pihak untuk berbagai keperluan (Sugiyono, 1994).
h. Penjelasan Singkat
Penelitian berusaha
menjelaskan hubungan yang ada terhadap fenomena-fenomena tertentu yang dapat
mengurangi realitas yang kompleks menjadi penjelasan yang sederhana (McMillan
& Schumacher, 2003).
i. Simpulan Bersyarat
Hasil penelitian pendidikan,
khususnya pendidikan bahasa merupakan sebuah simpulan yang bersyarat atau tidak
mutlak. Kesalahpahaman yang sering muncul, yaitu bahwa hasil penelitian adalah
mutlak dan simpulannya bersih dari kekeliruan.
1.6 Sikap llmiah Seorang Peneliti
Seorang peneliti seyogyanya
memiliki sikap ilmiah. Berikut ini terdapat sembilan sikap ilmiah yang
selayaknya dimiliki oleh seorang peneliti.
a. Sikap Ingin Tahu
Seseorang yang bersikap ilmiah
itu selalu bertanya-tanya mengenai berbagai hal yang dihadapinya. Ia selalu
tertarik pada hal-hal yang lama dan yang terutama ia selalu tertarik pada
hal-hal yang baru. Hal-hal yang lama, walaupun biasanya telah dipertanyakan
oleh para ahli sebelumnya mungkin saja masih memerlukan pemikiran lebih lanjut.
Hal-hal yang baru menarik untuk dipelajari agar dapat, dicapai suatu pernyataan
umum.
b. Sikap Kritis
Orang yang bersikap kritis itu
tidak puas dengan jawaban tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal yang
ada di belakang gejala, bahkan yang ada di belakang fakta yang dihadapinya.
Sikap ingin tahu itu menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar dan karena
motivasi itu, timbullah sikap kritis. Ia tidak akan lekas percaya. Karena
memiliki sikap ingin tahu itulah, ia mencari informasi sebanyak mungkin sebelum
ia menentukan pendapat untuk ditulis. Ia tidak gegabah mengucapkan atau menulis
suatu pernyataan umum. Bagi seseorang yang bersikap kritis, hukum-hukum alam
dan data empiris merupakan hal yang nomor satu. Ia dapat membedakan dengan baik
antara hukum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan pendapat. Ia meneliti dalam upaya
membandingkan fenomena-fenomena yang serupa.
e. Sikap Terbuka
Orang yang bersikap ilmiah itu
selalu bersikap terbuka, yaitu selalu bersedia mendengarkan keterangan dan
argumentasi orang lain walaupun berbeda dengan pendiriannya. Orang yang
bersikap terbuka itu, tidak menutup mata terhadap kemungkinan yang lain. Ia
tidak emotif dalam menanggapi kritik, sangkalan bahkan celaan terhadap
pendapatnya.
d. Sikap Objektif
Bersikap objektif itu adalah
menyisihkan perasaan pribadi (personal bias), atau mengesampingkan
kecenderungan yang tidak beralasan, dengan kata lain dapat menyatakan apa
adanya, dapat melihat secara nyata, dan aktual. Peneliti yang bersikap objektif
tidak ‘dikuasai’ oleh pikiran-pikirannya sendiri atau perasaannya sendiri, dan
tidak dipengaruhi oleh prasangka.
e. Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain
Peneliti yang bersikap ilmiah
memiliki jiwa yang cukup besar untuk menghargai karya orang lain tanpa merasa
dirinya kecil. Peneliti yang congkak, dan merasa lebih tidak mungkin bersikap
objektif, dan karya tulisnya akan bernada sombong, memerintah atau menggurui.
Peneliti congkak itu biasanya bersikap meng-’aku’. Peneliti yang berjiwa ilmiah
pantang mengaku karya orang lain sebagai karya orisinal yang berasal dan
dirinya sendiri. Ia rela dan dengan senang hati mengakui dan mengucapkan terima
kasih atas gagasan (ide) atau karya orang lain yang semata-mata ia kutip.
f. Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran
Peneliti yang bersikap ilmiah
berani menyatakan kebenaran dan apabila perlu, Ia mempertahankannya. Kebenaran
itu mungkin berupa fakta atas hasil penelitiannya sendiri atau hasil penelitian
atau karya orang lain. Sikap itu menimbulkan kebulatan dalam cara berpikir dan
menimbulkan konsistensi dalam penulisan yang merupakan syarat mutlak bagi karya
tulis ilmiah.
g. Sikap Menjangkau ke Depan
Peneliti yang bersikap ilmiah
mempunyai pandangan jauh ke depan. Perkembangan etika dan kebudayaan pada
umumnya menarik perhatian bagi orang-orang yang bersikap ingin tahu, kritis,
terbuka dan objektif. Oleh karena itu, ia berpandangan jauh ke depan. Peneliti
ini bersifat ‘futuristik’, yaitu mampu melihat jauh ke depan. Apabila ia juga
seorang peneliti yang baik, ia mampu membuat hipotesis dan membuktikannya,
serta ia dapat menyusun teori. Bahkan jika ia seorang yang beraka budi yang
cerdik (jenius), ia dapat sarnpai pada penjangkauan hukurn-hukum alam. Sikap
menjangkau ke depan itu membuat seseorang yang bersikap ilmiah gernar membaca,
menganggap meneliti itu sebagai suatu kebutuhan, dan ia menganggap menulis secara
ilmiah itu sebagai kewajiban.
1.7 Tipologi Penelitian (Penelitian
Bahasa)
Jenis-jenis penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan aspek tinjauan,
yaitu berdasarkan tujuan, jenis data, metode, dan pemanfaatan. Pengelompokan
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
1. Penelitian Berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuannya,
penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian dasar dan penelitian terapan.
Sebenarnya sulit untuk membedakan antara penelitian dasar dan terapan karena
keduanya terletak pada satu garis kontinum.
1) Penelitian Dasar
Suatu bentuk penelitian
dikatakan penelitian dasar apabila peneliti niempunyai tujuan perluasan ilmu
tanpa memikirkan pemanfaatan hasil penelitian tersebut untuk manusia maupun
masyarakat. Dengan kata lain, penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan
teori dan tidak langsung memperhatikan kegunaan praktis. Para ahli pendidikan
menggunakan binatang untuk menyelidiki kehidupan, karakteristik, dan tingkah
laku tertentu. Hasil penelitiannya mungkin belum dimanfaatkan langsung, mungkin
sangat berguna untuk kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang.
2) Penelitian Terapan
Penelitian terapan dilakukan
dengan tujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan suatu teori yang
diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga dapat diman
faatkan untuk kepentingan manusia, baik secara individual maupun kelompok.
Masalah penelitian terapan ditetapkan untuk mencari solusi yang dapat
dimanfaatkan manusia. Oleh karena itu, hasil penelitiannya berupa jawaban nyata
dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat yang dituju. Penelitian terapan
dalam pendidikan, misalnya, berkaitan dengan peningkatan kualitas strategi,
teknik, dan model pembelajaran, atau peningkatan minat dan motivasi belajar
siswa, atau pengimplementasian kurikulum, atau peningkatan kualitas media pembelajaran.
2) Penelitian Berdasarkan Jenis Data
Jenis penelitian dapat dibedakan berdasarkan jenis
datanya, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. (kedua
jenis penelitian ini akan dibicarakan secara rinci pada bagian II modul ini)
3. Penelitian Berdasarkan Aspek Metode
Pengelompokan jenis penelitian
dapat dilakukan berdasarkan metode. Jenis penelitian berdasarkan metode dapat
dilihat dan pengelompokan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian
kuantitatif dibedakan menjadi penelitian eksperimental dan non eksperimental,
sedangkan penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi penelitian interaktif
dan non interaktif.
Lebih lanjut, penelitian
eksperimental terdiri atas jenis penelitian eksperimen, eksperimen kuasi, dan
subjek tunggal. Penelitian noneksperimen terdiri atas penelitian deskriptif,
komparatif, korelasional, survei, dan ex post facto.
Penelitian kualitatif
interaktif adalah suatu studi mendalam yang menggunakan teknik tatap muka (face
to face) untuk mengumpulkan data dan orang-orang yang ada di dalam
seting penelitian tersebut. Para peneliti interaktif menjelaskan konteks studi,
mengilustrasikan perspektif-perspektif yang berbeda atas fenomena, dan merevisi
pertanyaan-pertanyaan secara berkelanjutan dan pengalaman mereka di dalam
bidang tersebut. Lima penelitian interaktif menurut McMillan & Scumacher,
yaitu ethnografik, fenomenologik, studi kasus, grounded theory, dan
studi kritis. Penelitian non interaktif terdiri atas analisis konsep dan
analisis historis.
1) Penelitian Eksperimen
Penelitian eksperimen, menurut
Sukardi (2003), merupakan metode inti dari penelitian yang ada. Ini disebabkan
dalam metode ini peneliti melakukan penelitian dengan tiga persyaratan yang
dipenuhi. Ketiga persyaratan tersebut, yaitu kegiatan mengontrol, memanipulasi,
dan mengobservasi. Pada penelitian ini peneliti harus membagi subjek yang
diteliti menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan perlakuan dan
kelompok yang tidak memperoleh perlakuan. Pada penelitian eksperimen terdapat
pengujian hipotesis untuk menentukan kondisi setelah dilaku kannya manipulasi,
misalnya berupa suatu perlakuan.
Penelitian eksperimen dalam pendidikan
bahasa bertujuan melihat pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang
lain. Misalnya, (a) pengaruh model pembelajaran interaktif dalam membaca
terhadap kemampuan membaca siswa, (b) pengaruh metode diskusi dalam
pembelajaran berbiacara terhadap kemampuan berbicara siswa.
Pada penelitian eksperimen
terdapat kelompok yang disebut kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang sengaja
dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu. Pada contoh tersebut, kelompok
yang dipengaruhi adalah kelompok yang diberi pembelajaran membaca melalui model
interaktif dan kelompok yang diberi pembelajaran dengan metode diskusi. Di
samping itu, ada pula kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak dipengaruhi
oleh variabel itu. Pada contoh tersebut kelompok kontrol adalah siswa yang
tidak dipengaruhi oleh model interaktif dalam pembelajaran membaca dan siswa
yang tidak dipengaruhi oleh metode diskusi dalam pembelajaran berbicara. Adanya
kelompok kontrol dimaksudkan sebagai pembanding sebingga tampak ada atau tidak
adanya perubahan yang diakibat kan oleh pengaruh variabel yang diujicobakan.
Contoh lain penelitian
eksperimen dalam bidang pendidikan bahasa di antaranya adalah pengaruh membaca
bacaan yang luas terhadap peningkatan kemampuan membaca (Cohen and Maution,
1985). Contoh lainnya, pengaruh tanda baca terhadap pemahaman bacaan (Nunan,
1992).
2) Penelitian Eksperimen Kuasi
Penelitian eksperimen kuasi,
atau eksperimen semu diartikan sebagai penelitian yang mendekati penelitian
eksperimen. Menurut Sukardi (2003) jenis penelitian ini banyak digunakan dalam
bidang pendidikan atau bidang lain yang subjek penelitiannya adalah manusia
yang tidak dapat dimanipulasi dan dikontrol secara intensif. Oleh karena itu,
dalam penelitian eksperimen kuasi, peneliti harus berhati-hati dalam menarik
hubungan kausal yang terjadi. Pada penelitian eksperimen kuasi, peneliti tidak
dapat mengontrol dan memanipulasi secara bebas dan intensif.
Penelitian pendidikan bahasa
lebih banyak menggunakan eksperimen kuasi. Beberapa persyaratan yang harus ada
dalam penelitian eksperimen sulit dipenuhi oleh penelitian pendidikan.
Pada desain eksperimen kuasi,
baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen diberi tes awal dan tes akhir,
tetapi sampel tidak diperoleh melalui teknik acak. Sementara itu, penelitian
eksperimen, baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen diberi tes awal
dan tes akhir dan sampel yang digunakan keduanya diperoleh melalui teknik acak
yang mewakili populasi. (untuk memantapkan pemahaman Saudara tentang
penelitian eksprimen dan penelitian eksperimen kuasi, silakan Saudara
membaca/mempelajari Metode Penelitian Bahasa oleh Syamsuddin AR dan Vismaia S.
Damaianti (2006:160—164).
3) Penelitian Subjek Tunggal
Studi dalam bidang pendidikan,
menurut McMillan dan Schumacher (2003), banyak dipengaruhi oleh suatu
pembiasaan, yaitu dengan mengamati kelompok-kelompok untuk mempelajari gejala
individual. Alasan untuk mempelajari kelompok tersebut adalah bahwa
perbedaan-perbedaan antarindividu bisa diamati dari skor rata-rata kelompok.
Bagaimanapun, peneliti akan mengalami kesulitan mempelajari semua individu
dalam suatu kelompok. Dengan demikian, peneliti boleh jadi tertarik bukan pada
kelompok, melainkan pada satu atau sebagian kecil kelompok. Metode penelitian
subjek tunggal atau single-subject memberikan alternatif dengan
menspesifikasi metode yang bisa digunakan dengan hanya seorang atau hanya
sebagian kecil subjek yang memungkinkan dilakukannya simpulan. Sama dengan
penelitian eksperimen kuasi, dalam penelitian subjek tunggal mi terdapat manipulasi
Iangsung, tetapi tidak dilakukan penarikan sampel rambang. Sebagai contoh,
seorang peneliti tertarik untuk mencobakan efektivitas suatu program bagi siswa
sekolah dasar yang tidak mau membaca. Ada sebagian kecil siswa yang tidak mau
membaca di kelompoknya. Jadi, desain penelitian kelompok tidak tepat. Jika
peneliti melihat suatu perubahan bertepatan dengan penerapan program tersebut, peneliti
dapat membuat simpulan bahwa program baru tersebut dapat menyebabkan perubahan
perilaku membaca.
4) Penelitian Deskriptif
Penelitian dengan menggunakan
metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menjelaskan fenomena yang
ada dengan meng gunakan angka-angka untuk mencandrakan karakteristik individu
atau kelompok. Penelitian deskriptif menilai sifat dan kondisi-kondisi yang
tampak. Tujuan penelitian deskriptif dibatasi untuk menggambarkan karakteristik
sesuatu sebagaimana adanya. Contoh-contoh pertanyaan penelitian yang dapat
dijawab melalui penelitian deskriptif, seperti berikut.
a) Berapa besar nilai rata-rata kemampuan
efektif membaca siswa sekolah dasar?
b) Berapa banyak siswa yang datang ke
perpustakaan setiap minggunya?
c) Berapa banyak waktu yang digunakan siswa
untuk kegiatan membaca setiap harinya?
d) Berada pada tingkat berapa kemampuan membaca
siswa?
5) Penelitian Komparatif
Di dalam penelitian
komparatif, peneliti melakukan penyelidikan apakah terdapat perbedaan antara
dua atau lebih kelompok terhadap fenomena yang sedang dipelajari (McMillan
& Schumacher). Seperti dalam penelitian deskriptif, dalam penelitian mi
tidak ada manipulasi atau kontrol langsung terhadap hal yang diteliti. Sebagai
contoh, dengan menggunakan penelitian komparatif, peneliti ingin mengetahui
apakah terdapat perbedaan jenis karangan antara siswa laki-laki dan perempuan;
perbandingan tingkat pemahaman wacana antara anak yang membaca dengan menggu
nakan musik dan anak yang membaca tanpa mendengarkan musik.
6) Penelitian Korelasional
Penelitian korelasional
berhubungan dengan penilaian hubungan antara dua atau lebih fenomena. Jenis
penelitian mi biasanya me libatkan ukuran statistik tingkatlderajat hubungan,
disebut korelasi (McMillan & Schumacher). Hubungan yang diukur merupakan
pernyataan tentang tingkat hubungan antarvariabel tersebut.
Ada dua jenis hubungan korelasi,
yaitu korelasi postif dan korelasi negatif. Korelasi positif artinya bahwa
nilai tinggi variabel pada variabel pertama berhubungan dengan nilai yang
tinggi pada variabel kedua. Korelasi negatif artinya bahwa nilai tinggi
variabel pertama berhubungan dengan nilai rendah variabel kedua.
Sebagai contoh penelitian
korelasional mi terdapat pada penelitian tentang hubungan tingkat keterbacaan
wacana dengan pemahaman wacana; hubungan antara penggunaan bahasa ibu dan
prestasi bahasa Indonesia; hubungan antara pola asuh orang tua dan motjvasi
membaca.
7) Penelitian Survei
Penelitian survei dalam
pendidikan bahasa adalah upaya untuk mengamati fenomena bahasa dengan
melibatkan populasi yang besar maupun yang kecil. Akan tetapi, data yang
dianalisis adalah data dan sampel yang diambil dan populasi.
Penelitian survei dalam pendidikan bahasa pada
umumnya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dan pengamatan yang
mendalam. Walaupun metode survei dalam pene1itian pendidikan bahasa mi tidak
memerlukan kelompok kontrol, namun generalisasi yang dihasilkan bisa akurat
bila digunakan sampel yang representatif.
Pada penelitian survei, peneliti
menentukan sumber data sesuai dengan tujuan penelitian, membuat kuesioner, atau
melaku kan wawancara untuk mengumpulkan data. Survei sering digunakan dalam
penelitian pendidikan, misalnya untuk menjelaskan sikap, keyakinan, pendapat.
Contoh penelitian survei dalam pendidikan bahasa adalah bagaimana gambaran
sikap dan motif siswa terhadap pembelajaran bahasa kedua. Bagaimana gambaran
hubungan antara kemampuan berbicara dan proses mengingat? Bagaimana pengaruh
usia siswa terhadap kemampuan berbahasa? Bagaimana pengaruh situasi, interaksi,
dan keadaan siswa terhadap pembelajaran bahasa kedua?
8) Penelitian Ex Post Facto
Penelitian ex post facto
digunakan untuk menyelidiki hubungañ sebab akibat yang mungkin antarvariabel
yang tidak bisa dimanipulasi oleh peneliti. Penyelidik mendesain penelitian
untuk membandingkan dua atau lebih sampel yang memungkinkan dipelajari setelah
perilaku atau kondisi tertentu terjadi. Peneliti tidak memanipulasi apa yang
terjadi pada subjek, tetapi peneliti memfokuskan pada apa yang telah terjadi
secara berbeda pada kelompok subjek.
Sebagai contoh, penelitian
tentang pengaruh kebiasaan membaca orang tua terhadap minat membaca siswa.
Salah satu variabel tersebut, yaitu kebiasaan membaca orang tua tidak bisa
dimanipulasi, sehingga peneliti melihat pengaruhnya setelah kondisi tersebut
terjadi.
9) Penelitian Etnografik
Ethnografik adalah penelitian
untuk menjelaskan dan menafsirkan budaya atau kelompok atau sistem sosial.
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna “budaya”, namun penelitian
berfokus pada pola-pola tindakan bahasa, ritual, dan pola-pola hidup yang
dipelajari. Sebagai sebuah proses, ethnografik melibatkan kerja lapangan yang
membutuhkan banyak waktu, melakukan pengamatan secara khusus dan wawancara
sederhana dengan para peserta, dan mengumpulkan berbagai artefak.
Pada penelitian ini perlu dilakukan kegiatan
dokumenter melalui observasi tentang hidup keduniawian sehari-hari.
Sudut pandang informan dapat
dicatat secara saksama dan dibuat melalui kutipan-kutipan yang diedit secara
teliti. Dengan demikian, peneliti dapat menunjukkan bahwa apa yang diuraikan
bukan pandangan peneliti melainkan penjelasan otentik dan merupakan keterangan
dan para informan yang cukup repreresentatif.
Produk akhir berupa uraian komprehensif, yaitu uraian berbentuk deskripsi
naratif yang bersifat holistik dan interpretatif melalui penyatu-paduan semua
aspek kehidupan informan serta pengilustrasian kompleksitasnya.
Ada beberapa variasi
penelitian ethnografik. Karena banyaknya ahli antropologi melakukan observasi
dalam penelitian ethnografi budaya, pada umumnya peneliti pendidikan melakukan
observasi dalam studi mikro-ethnografik (Erickson, 1973; LeCompte &
Preissle, 1993; Wolcott, 1995).
10) Penelitian Fenomenologi
Fenomenologi adalah filsafat
ilmu dari metode penelitian. Penelitian fenomenologi menjelaskan makna pengertian
tentang pengalaman hidup. Tujuan
fenomenologi adalah untuk mentransformasikan pengalaman hidup ke dalam
deskrispi esensi dan kehidupan tersebut. Dengan demikian, pengaruh hasil
penelitian ini dapat menjadi dokumen yang bersifat reflektif terhadap sesuatu
yang lebih bermakna.
Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara panjang antara informan dan peneliti yang
bertujuan memahami perspektif para informan tersebut atas fenomena kehidupan
sehari harinya (Moustakas, 1944; Seidman, 1988).
Penelitian ini memungkinkan pembaca merasa bahwa
mereka paham secara utuh tentang konsep yang berkaitan dengan pengalaman khusus
seseorang atau sekelompok orang, misalnya kemampuan berbahasa pada para
penderita disleksia, kemampuan berbahasa para penderita authisme, kemampuan
membaca para penyandang tunagrahita, tunawicara, dan tunarungu.
11) Studi Kasus
Studi kasus dalam pendidikan
bahasa adalah bentuk penelitian pendidikan bahasa yang mendalam tentang suatu
aspek pendidikan bahasa, termasuk lingkungan pendidikan bahasa dan manusia yang
terlihat dalam pendidikan bahasa di dalamnya (Nunan, 1992). Oleh karena
beberapa klasifikasi “kasus” sebagai objek studi (Stake, 1955) dan “kasus”
lainnya dianggap sebagai suatu metodologi (Yin, 1994) maka penjelasan studi
kasus merupakan studi yang mendetail yang dapat menggunakan banyak sumber data
untuk menjelaskan sebuah variabel atau hal yang diteliti. Kasus bisa dipilih
karena keunikannya atau kasus bisa digunakan untuk mengilustrasikan suatu isu
(Stake, 1995).
Fokus penelitian dapat berupa
satu entitas (penelitian di suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi
tempat/multi-site). Penelitian mi mendeskripsikan kasus, analisis tema
atau isu, dan interpretasi atau pembuktian penelitian terhadap kasus. Studi
kasus dalam pendidikan bahasa dapat dilakukan terhadap seorang individu,
sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang
terkait dengan pendidikan bahasa.
Studi kasus dalam pendidikan
bahasa dapat difokuskan pada perkembangan sesuatu di bidang pendidikan bahasa.
Misalnya, pengaruh didirikannya pondok baca di daerah pedesaan; studi
longitudinal tentang perkembangan kemampuan linguistik anak.
12) Grounded Theory
Istilah grounded theory sering
digunakan untuk merujuk pada pendekatan yang membentuk gagasan teoretis yang
dimulai dan data. Grounded theory merupakan prosedur penting untuk menghasilkan
teori substantif. Penelitian ini menggunakan metode komparatif serta analisis
data dengan teknik induktif dan veri- fikatif. Dengan kata lain, teori yang grounded
adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang
fenomena yang dijelaskannya. Oleh karena itu, teori ditemukan, disusun, dan
dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis serta melalui analisis data
yang berkenaan dengan fenomena itu. Pengumpulan data, analisis, dan teori
saling terkait dalam hubungan timbal balik. Peneliti tidak memulai penyelidikannya
dari suatu teori tertentu lalu membuktikannya, tetapi dan suatu kajian dan
hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut (Strauss & Corbin). Peneliti
mengumpulkan data melalui wawancara dan melakukan beberapa kunjungan ke
lapangan. Pengumpulan data awal dilakukan untuk memperoleh berbagai macam
perspektif atas fenomena; kemudian peneliti menggunakan perbandingan untuk
menganalisis setiap kategori dan informasi yang diperoleh. Data dikumpulkan
hingga informasi terpenuhi. Dalam hal ini peneliti memilih fenornena-fenomena
inti, mengembangkan permasalahan sesuai dengan alur penelitian, dan
mengemukakan kondisi sosial, kondisi historis, dan konsekuensi yang
mempengaruhi fenomena.
Grounded theory yang bisa diakui tersusun secara baik
ialah yang bisa diterapkan terhadap suatu fenomena dengan memenuhi empat
kriteria, yaitu kesesuaian, pemahaman, generalitas, dan kontrol. Jika suatu
teori sangat sesuai dengan kenyataan sehari-hari dalam kajian yang nyata dan
diatur dengan cermat dan beragam data, berarti teori ini sangat relevan dengan
kajian nyata tersebut. Karena melukiskan kenyataan, teori ini harus dapat
dipahami dan masuk akal, bukan hanya untuk menggambarkan orang-orang yang
diteliti, melainkan juga orang-orang yang ada dalam bidang yang nyata.
13) Studi Kritis
Penelitian mi diambil dari teori
kritis, teori feminis, teori ras, dan perspektif pascamodern yang mengasumsikan
bahwa ilmu pengetahuan adalah subjektif (McMillan & Schumacher). Para
peneliti ini menganggap masyarakat sebagai individu yang pada hakikatnya
terstruktur oleh kelas dan status, serta oleh ras, suku, gender, dan orientasi
seksual. Para peneliti kritis mencurigai sebagian metode penelitian yang
mengabaikan hubungan kekuatan yang implisit dalam teknik-teknik pengumpulan
data dan pembatasan pemahaman atas fenomena (Marshall & Rossman, 1999).
Teori kritis cenderung berfokus pada permasalahan masyarakat dan lembaga
sosial. Studi kritis banyak pula dipakai dalam penelitian kualitatif
ditempatkan melalui analisis naratif dalam action research, ethnografik
kritis, tindakan partisipatori, dan riset feminis. Penelitian kritis bisa
dilakukan dengan suatu komitmen untuk menyingkap manipulasi dan tekanan sosial
yang bersifat menekan.
14) Penelitian Non interaktif
Metode penelitian non interaktif,
yang disebut penelitian analitis, menyelidiki konsep dan peristiwa historis
melalui analisis dokumen. Peneliti bisa mengidentifikasi, mempelaj an, dan
selanjutnya mensintesis data untuk memberi pemahaman konsep atau peristiwa
lampau yang mungkin tidak bisa diobservasi secara langsung.
Dokumen-dokumen ilmiah adalah
sumber utama. Peneliti bisa menafsirkan fakta-fakta dan dokumen untuk
memberikan pen jelasan-penjelasan tentang masa lampau dan mengklarifikasi
makna/pengertian masalah pendidikan bahasa yang mendasari isu-isu masa kini.
Penelitan ini meliputi analisis konsep dan analisis historis. Analisis konsep
adalah untuk menjelaskan perbedaan pengertian dan menguraikan penggunaan suatu
konsep yang tepat. Adapun analisis historis dilakukan dengan melibatkan pengumpulan
secara sistematis dan mengkritisi suatu dokumen yang menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
BAGIAN II
PENELITIAN KUALITATIF
DAN PENELITIAN KUANTITATIF
2.1 Penelitian Kualitatif
2.1.1 Hakikat Penelitian Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif
dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Staruss dan Corbin,
2007:4). Di sisi lain, penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga
disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data
dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di
tempat penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Selain itu, Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4)
mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau
perilaku yang dapat diamati.
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Williams (1995) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian dengan
pengumpulan data pada suatu latar alamiah, menggunakan metode alamiah, dan
dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Definisi ini
memberi gambaran bahwa penelitian kualitatif mengutamakan latar alamiah, metode
alamiah, dan dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah (dalam
Moleong, 2005:5).
Penelitian
kualitatif dapat pula didefinisikan sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial
dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan
persoalan tentang manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Konsep kualitatif yang
terakhir ini cenderung mempertentangkan penelitian kualitatif dan penelitian
kuantitatif.
Untuk
mempertegas hakikat penelitian kualitatif, berikut ini dikutip pendapat
Sugiyono (2005:1--3) sebagai berikut.
1) Metode penelitian kualitatif muncul karena
perubahan paradigma dalam meman-
dang
suatu realitas/fenomena/gejala. Dalam paradigma ini, realitas sosial dipan-
dang
sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna.
Paradigma yang demikian disebut paradigma post positivisme. Paradigma
sebe-
lumnya
disebut paradigma positivisme. Paradigma ini memandang gejala lebih
bersifat
tunggal, statis, dan konkret. Paradigma postpositivisme mengembangkan
metode
penelitian kualitatif dan positivisme mengembangkan metode kuantitatif.
2) Metode penelitian kualitatif ini sering disebut
metode penelitian naturalistik kare-
na
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting);
disebut
juga
sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak digu-
nakan
untuk penelitian antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif kare-
na data
yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.
3) Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk me-
neliti pada kondisi objek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) di sini peneliti adalah sebagai instrumen
kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi. Objek dalam penelitian kualitatif
adalah objek yang alamiah, atau natural setting, sehingga metode
penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Objek yang alamiah
adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi
pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan setelah keluar
dari objek relatif tidak berubah. Pada metode eksperimen, peneliti dalam melakukan penelitian tempatnya di
laboratorium yang merupakan kondisi buatan, dan peneliti melakukan manipulasi
terhadap variabel. Dengan demikian, sering terjadi bias antara hasil penelitian
laboratorium dengan keadaan di luar laboratorium atau keadaan sesungguhnya.
4) Pada
penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan instrumen untuk mengumpul-
kan data atau mengukur status variabel yang
diteliti, sedangkan dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi
instrumen. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah
orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi instrumen, peneliti
harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya,
menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih
jelas dan bermakna.
5)
Kriteria data dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang
pasti adalah data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang
sekadar terlihat, terucap, tetapi data yang mengandung makna di balik yang
terlihat dan terucap tersebut. Contoh data yang pasti misalnya data orang
menangis. Orang yang menangis itu harus dipastikan, apakah menangis karena
susah atau justru menangis karena mendapat kebahagiaan. Untuk mendapatkan data
yang pasti diperlukan berbagai sumber data dan berbagai teknik pengumpulan
data. Dua sumber data yang memberikan data
yang berbeda, data tersebut belum pasti. Pengumpulan data dengan
observasi dan wawancara yang menghasilkan data berbeda, data tersebut juga
belum pasti. Bila data yang diperoleh masih diragukan dan belum memperoleh
kepastian, penelitian masih harus terus dilanjutkan. Jadi, pengumpulan data
dengan teknik triangulasi adalah pengumpulan data yang menggunakan berbagai
sumber dan berbagai teknik pengumpulan data secara simultan, sehingga dapat
diperoleh data yang pasti.
6) Dalam
penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi
dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan
pada saat penelitian di lapangan. Oleh
karena itu, analisis data yang dilakukan
bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan
menjadi hipotesis atau teori. Jadi, dalam penelitian kualitatif analisis data
dilakukan untuk membangun hipotesis, sedangkan dalam penelitian kuantitatif
analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis. “The main strength of this
technique is in hypothesis generation and not testing” (David Kline, 1985).
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak peneliti menyusun
proposal, melaksanakan pengumpulan data di lapangan sampai peneliti mendapatkan
seluruh data.
7) Metode
kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data
yang mengandung makna. Makna adalah data
yang sebenarnya, data yang pasti, yang merupakan suatu nilai di balik data yang
tampak. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada
generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna. Generalisasi dalam penelitian
kualitatif dinamakan transferability, artinya hasil penelitian tersebut
dapat digunakan di tempat lain, manakala tempat tersebut memiliki karakteristik
yang tidak jauh berbeda.
2.1.2
Penerapan Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif dapat
dilakukan dalam praktik pendidikan dengan bebe-rapa cara sebagai berikut.
1) Memperbaiki atau mengembangkan pola hubungan
praktisi pendidikan (guru,
spesialis pengajaran, konselor) dengan kliennya (murid) yang melakukan
kontak
langsung
agar menjadi lebih efektif.
2) Menjadi bagian dari upaya pendidikan dan
peningkatan kualitas guru atau calon
guru.
3) Memperlancar seorang peneliti menjadi pengamat
yang lebih tajam terhadap kese-
luruhan
lingkungan sekolah.
4) Membantu mengembangkan proses belajar-mengajar
sehingga guru dapat melaku-
kan
upaya dengan lebih sadar.
5) Memasukkan kegiatan penelitian dengan
pendekatan kualitatif pada kurikulum
sekolah,
sehingga para siswa dapat ikut serta melakukan wawancara dan studi
observasi. Siswa terlibat dalam kegiatan yang sesungguhnya.
Keterampilan yang dibutuhkan
untuk menerapkan penelitian kualitatif, meliputi (a) kepekaan teoretis dan sosial,
(b) kemampuan menjaga jarak analisis, sekaligus memanfaatkan pengalaman
terdahulu dan pengetahuan teoretis untuk me- mahami apa yang terlihat (c)
kemampuan pengamatan yang cermat, dan (d) kecakapan berinteraksi (Strauss &
Corbin, 2003). Dengan keterampilan tersebut, peneliti dapat (a) meninjau
kembali dan menganalisis situasi secara kritis, (b) mengenali dan menghindari
bias, (c) mendapatkan data yang sahih dan andal, dan (d)
berpikir secara abstrak.
Bagaimanakah penerapan
pendekatan kualitatif untuk memperbaiki kinerja guru? Guru dapat bertindak
sebagai peneliti sebagai bagian dari peranannya. Meskipun mereka tidak pernah
membuat catatan lapangan secara rinci, mereka bisa lebih sistematis dalam
menuliskan pengalaman-pengalamannya. Menulis catatan di dalam buku catatan yang
khusus membantu mereka dalam mengumpulkan bahan bersama-sama. Meskipun mereka
tidak dapat mewawancarai orang seperti seorang peneliti, mereka dapat mengubah
percakapan yang dilakukan seperti biasanya menjadi acara pengumpulan informasi
yang lebih produktif. Menyertakan perspektif kualitatif dalam kegiatan yang
rutin berarti dapat membuat para praktisi menjadi sadar diri dan berpikir aktif
seperti yang dilakukan seorang peneliti kualitatif.
Menyertakan perspektif ini
bisa berarti bahwa para guru mulai sadar dan dapat menganggap dirinya kurang
semestinya dalam menjalankan tugasnya dan tidak lebih sebagai suatu objek
studi. Guru menjadi lebih reflektif. Bila Anda seorang guru, amati diri Anda
sendiri pada waktu Anda berlaku sebagai seorang pendidik. Di mana Anda
berjalan? Di mana Anda berdiri? Bagaimana Anda mengatur jadwal kegiatan?
Bersama siapa Anda dalam mengisi sebagian besar waktu Anda? Siapa orang yang
Anda hindari? Apa pandangan Anda tentang pekerjaan Anda? Bagaimana Anda menghadapi
hari-hari yang Anda paling takut menghadapinya? Bagian mana yang Anda
perhatikan dari hari yang Anda harap-harapkan? Kesesuaian apa yang Anda lakukan
dengan apa yang ingin Anda lakukan? Hambatan apa menurut Anda yang menghadang
antara apa yang ada dan apa yang Anda inginkan? Adakah orang-orang tertentu
yang terhadapnya Anda merasa tidak efektif? Apa pikiran Anda tentang mereka?
Apa menurut Anda yang mereka pikirkan? Apa keuntungan bagi guru yang
menggunakan ancangan kualitatif? Karena guru yang bertindak selaku peneliti, ia
tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi juga mengamati dirinya sendiri, lalu
mampu memperoleh pandangan yang lebih luas atas apa yang sedang terjadi.
Sebagai contoh, berikut
diuraikan sebuah ilustrasi. Seorang ibu guru diminta berperan serta dalam suatu
penelitian kualitatif sebagai pengamat terhadap seorang anak di dalam kelasnya.
Anak yang diobservasi adalah anak lelaki yang “biasanya sulit ditangani”. Ia
mengamati anak itu dengan saksama dan mencatat di buku catatan hariannya apa-apa
yang didengar dan dilihatnya. Pada akhir penelitian, hubungan mereka “sangat
membaik”. Ia menjadi “menyukai” anak tadi, dan ía tersadar dengan hal-hal lain
yang sebelumnya tidak dirasakannya atau disadarinya. Perasaan ini akan terus
berkembang selama proses penelitian berlangsung. Ia mulai memahami bagaimana
dunia “terlihat” oleh muridnya itu dan bagaimana murid itu memahami apa yang
dilihatnya. Ibu guru tadi bisa melihat di mana cara berpikir mereka bertemu dan
di mana berlawanan.
Contoh tersebut mencerminkan
satu masalah khusus yang dihadapi seorang guru, bahkan itu merupakan sebuah
gambaran yang baik tentang penggunaan ancangan kualitatif untuk mem perbaiki
keefektivan mengajar. Berikut contoh langkah-langkah yang dapat ditempuh, bila
anda seorang guru yang melaksanakan penelitian kualitatif.
Langkah 1
Ambil satu masalah sebagai suatu fokus penelitian
yang hendak dicari solusinya, misalnya, kebiasaan berbahasa yang buruk yang
ingin anda ubah, kualitas berkomunikasi yang tidak baik, atau suatu pola belajar
berbahasa yang ingin anda pelihara, anda kembangkan, anda perbaiki.
Langkah 2
Buat catatan rinci yang dapat Anda lakukan
mengenai isu itu; merekam hasil observasi dan dialog bilamana mungkin. Usahakan
seluruh kegiatan dan pengamatan terfokus pada interaksi yang terjadi di sekitar
isu yang relevan dengan permasalahan. Rekam apa yang dikerjakan dan dikatakan
siswa kepada Anda dan orang lain. Tulis bila Anda akan memperlihatkan perilaku
yang ingin Anda ubah dan kepada siapa Anda memperlihatkan atau melaksanakan
perilaku itu. Bagaimana reaksi para siswa terhadap kegiatan Anda? Catat dengan
rinci kejadian-kejadian di kelas bila suatu pola yang ingin Anda pelihara,
kembangkan, atau perbaiki mulai berjalan. Apakah Anda melihat ada siswa yang
memberikan penguatan tingkah laku ini?
Langkah 3
Apabila Anda telah selesai dengan pencatatan atas
kejadian kejadian jangka panjang, selanjutnya periksa data-data Anda itu untuk
melihat adanya perubahan, perbaikan, pengembangan, atau kemunculan pola-pola
atau kecenderungan tertentu. Buat pertanyaan tentang permasalahan yang mencuat.
Mengapa saya bereaksi seperti itu ketika siswa meminta informasi? Apa yang
terjadi di kelas pada saat saya memperagakan suatu tingkah laku itu? Atau
pertanyaan lainnya.
Langkah 4
Pergunakan data itu untuk membuat putusan jika
perlu. Kadang-kadang proses penelitian itu berdampak pada perbaikan keadaan.
Misalnya, selama proses penelitian berlangsung, guru mungkin menjadi bersikap
lebih menghargai murid sehingga dapat meredakan ketegangan hubungannya dengan
murid itu. Akan tetapi, dalam kejadian lain, Anda barangkali perlu menggunakan
pengetahuan untuk membuat rencana. Barangkali Anda perlu berbagi pengetahuan
yang telah Anda peroleh tentang hubungan Anda dengan seorang siswa, secara
pribadi, dengan siswa itu. Barangkali Anda dapat menyelenggarakan pertemuan
kelas dengan murid-murid, atau berbicara dengan guru-guru lain, atau minta
nasihat khusus kepada seorang konsultan. Pengambilan keputusan itu sesuatu yang
khusus, berlaku bagi keadaan-keadaan secara individual.
2.1.3 Penelitian Kualitatif dari
Perspektif Guru dan Pendidikan Guru
Penelitian kualitatif
mempunyai syarat bagi para peneliti agar dapat mengembangkan empati kepada
orang-orang yang ditelitinya dan melakukan usaha terpadu untuk memahami
permasalahan dari berbagai sudut pandang. Tujuannya adalah untuk memahami dunia
subjek yang diteliti dan untuk menentukan bagaimana dan dengan kriteria apa
subjek menentukan ketercapaian sesuatu. Penelitian ini urgen bagi program
pendidikan guru karena menawarkan kesempatan kepada calon guru atau guru untuk
mengeksplorasi lingkungan sekolah yang kompleks. Bersamaan dengan itu, guru
akan menjadi lebih sadar diri akan nilai-nilainya sendiri dan bagaimana nilai
ini mempengaruhi sikapnya, misalnya terhadap para murid, kepala sekolah, dan
teman sejawat.
Para guru atau calon guru yang
melakukan sebuah penelitian kualitatif diharapkan tidak sampai tidak menyadari
bahwa nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan mereka itu dibawa ke dalam kelas.
Meskipun nilai itu mempengaruhi pekerjaan setiap orang, dan dapat memperkokoh
mengajar dan kemampuan interaktif, namun kesadaran nilai-nilai ini membantu
melihat bagaimana hal itu membentuk sikap kita terhadap siswa (dan para
pendidik lain). Guru menjadi lebih sadar, bagaimana ia ikut menciptakan apa
yang terjadi padanya.
Sebagai bagian dan pendidikan,
mahasiswa keguruan, atau calon guru mendapatkan kesempatan berada di sekolah.
Penelitian kualitatif diterapkan untuk membantu mereka memilah pandang
an-pandangan yang saling bertentangan mengenai persekolahan. Dapat pula,
penelitian ini mendorong mereka mempertanyakan atau membuktikan asumsi-asumsi
mereka yang dibuatnya tentang persekolahan.
Guru dapat diminta untuk
melakukan riset kecil-kecilan di dalam kelas atau sekolah tempat mereka
bekerja. Kami menyusun “catatan lapangan” mereka dengan memberikan serangkai
pertanyaan “penelitian” yang umum sifatnya. Seperangkat “pertanyaan pengamatan”
ini mencakup pertanyaan-pertanyaan seperti berikut.
Bagaimana guru mengorganisasikan atau mengelo
kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa? Apa yang dimaksud dengan guru
yang berkualitas dalam melaksanakan proses pernbelaj arannya? Bagaimana
gambaran tindakannya dalam melaksanakan proses pembelajarannya itu? Bagaimana
suasana di dalam kelas tempat penelitian?Bagaimana perasaan guru-guru di
sekolah tentang pekerjaan mereka?Bagaimana siswa yang dinilai paling baik di
kelas yang diamati? Bagaimana masalah pendidikan dianalisis oleh staf sekolah?
(Masalah ini bisa masalah disiplin, pengelolaan waktu, administrasi, dan
semacamnya). Bagaimana mencari pemecahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
disusun untuk mengamati permasalahan di seputar mata ajaran tertentu, misalnya
masalah pembelajaran bahasa. Guru dapat menyusun pertanyaan di sekitar
fokus-fokus lain. Kami menemukan bahwa menekankan konsep “perspektif” sebagai
cara memandang kehidupan sekolah membuat mahasiswa calon guru mempertanyakan
asumsi-asumsi yang mereka punyai mengenai peranan guru. Beberapa dari mereka yang
potensial ini, umpamanya, berasumsi bahwa murid akan menyusahkan guru karena
mereka berasal dari keluarga miskin atau berpenghasilan rendah atau bahwa
masalah “budaya” telah menyebabkan murid-murid berperilaku menyimpang di kelas.
Melalui observasi, sebagai mahasiswa keguruan mereka dapat mengikuti tingkah
laku yang terjadi di sekolah atau kelas yang teramati.
Pandangan kualitatif menuntut
bahwa orang yang perspektifnya akan dipahami mahasiswa peneliti itu, berbicara
atas namanya sendiri. Itu berarti bahwa mahasiswa harus mendengarkan kata kata
orang yang diteliti itu secara langsung tanpa menyertakan teori-teori
pendidikan. Kerja lapangan yang sistematis memungkinkan mahasiswa sebagai
peneliti mulai melihat bagaimana kekuasaan didistribusi, juga macam-macam
tekanan yang dihadapi guru, tingkat dukungan yang diberikan seorang
administrator, atau cara bagaimana murid mengartikan kehidupan sekolah.
Ditekankan bahwa mahasiswa dibantu menarik kembali pengertian mereka tentang
kehidupan sekolah yang sebelumnya, yaitu menganggap bahwa sudah semestinya
begitu agar pertama mereka mengkajinya, dan kedua melihat sekolah melalui
kacamata orang lain.
Sebagaimana ditunjukkan dua
buah contoh berikut, penggunaan ancangan kualitatif memungkinkan mahasiswa
praktik keguruan memperluas konsepsinya tentang “kebenaran” pendidikan. Seorang
peneliti melakukan observasi di sebuah sekolah dasar.
Pada suatu hari ia berada di
sebuah kelas yang sedang melakukan kegiatan membaca. Beberapa hal yang
dicatatnya seperti berikut.
1) Para siswa ingin menentukan sendiri jenis
bacaan yang akan dibacanya.
2) Guru tidak meminta siswa menjawab pertanyaan
yang diajukannya.
3) Siswa menceritakan isi bacaan secara lisan dari
sudut pandangnya sendiri.
4) Siswa dapat menceritakan bacaan dengan
gerakan-gerakan sesuai dengan apa
yang
dipahaminya.
5) Guru menyerahkan penilaian keberhasilan membaca
kepada siswa.
Berdasarkan hasil
pengamatannya, peneliti melihat kegiatan pembelajaran membaca yang tidak biasa.
Karena merasa pikirannya terganggu menghadapi apa yang dilihat sebagai suatu
strategi pembelajaran yang tidak lazim, ia memutuskan mewawancarai guru itu
mengenai proses pembelajaran membaca tersebut. Guru memberikan penjelasan
kepada peneliti melalui alasan-alasannya seperti berikut.
1) Dengan diikutsertakannya siswa memilih bacaan,
siswa memperoleh kebutuhan
fisiologis yang sesuai berupa kenikmatan estetis dalam mendapatkan
pengetahuan
Di
samping itu, siswa dilatih mandiri dalam menentukan kebutuhan yang bersum-
ber
dari dirinya.
2) Guru tidak memberikan pertanyaan kepada siswa,
tetapi siswa diberi kebebasan
mengutarakan apa yang dipahaminya dan dikuasainya secara verbal. Ini
akan
mengakibatkan siswa dapat menyatakan sesuatu dengan baik dan berhasil,
sehingga mereka mendapatkan kepercayaan diri siswa yang dilatih melalui
kegiatan membuat uraian sendiri akan meningkat rasa percaya dirinya.
3) Guru membiarkan siswa memperagakan
“kejadian-kejadian” yang ditemuinya
dalam
bacaan akan menyebabkan siswa terlibat dalam aktivitas pengalaman
langsung. Pengetahuan diperoleh dari hasil penemuan melalui
pengalamannya.
Siswa
tidak dihadapkan pada tugas-tugas hafalan. Ini akan meningkatkan motivasi
siswa.
4) Penilaian diri
atau pemantauan terhadap keberhasilan diri, menyebabkan siswa
memasuki
suasana aman. Siswa merasakan keberhasilan dan menerima kesalahan
sebagai
hal yang wajar dalam belajar. Pemantauan diri ini terhadap hasil pemaha-
haman
bacaan dapat melatih tanggung jawab kepada dirinya sendiri dalam me-
lakukan
perbaikan-perbaikan serta menafsirkan keinginan-keinginannya dalam
membaca.
Proses belajar-mengajar
membaca tersebut dapat membuat siswa lebih termotivasi dalam melakukan kegiatan
membaca. Peneliti itu menjadi mengerti perspektif guru tersebut. Bila pada
mulanya ía hanya melihat keadaan kacau, ia kemudian bisa melihat dengan jelas
adanya metode dalam pembelajaran itu. Melalui pengamatannya, ia dapat meninjau
kembali pandangannya mengenai apa yang sedang terjadi. Dengan kata lain,
persepsinya mengenai realitas berubah. Namun, memahami perspektif seorang guru
itu baru satu tujuan; kadang-kadang mahasiswa belajar bahwa mengandalkan
deskripsinya sendiri dapat memperjelas apa yang tidak dapat dijelaskan bila hanya
menerima dengan penerimaan pandangan guru begitu saja. Pada contoh ini, seorang
pengamat menerima komentar guru bahwa anak-anak di kelas satu “gampang sekali
beralih perhatian karena rentang perhatiannya yang pendek”. Catatan mahasiswa
mula-mula kelihatan mempercayai apa yang dikatakan dalam penilaian ini, “Saya
mengamati hal berikut selama pelajaran berjalan.” Salah satu anak tidak
memperhatikan apa yang dikatakan guru. Apa yang dikerjakan anak adalah melihat
keluar jendela atau melamun. Akan tetapi, di bagian belakang catatannya
mahasiswa itu berkomentar tentang satu aspek lain kehidupan di kelas. Beberapa
anak di kelas belum dapat berbahasa Indonesia. Mereka tidak mengerti apa yang
dikatakan guru. Peneliti itu kemudian mencatat bagaimana perspektifnya berubah
mengenai apa yang terjadi di dalam kelas tersebut.
Contoh-contoh tersebut dapat
menjelaskan suatu cara bagaimana pandangan kualitatif dapat diterapkan di dalam
program pendidikan. Metode kualitatif membantu para pendidik menjadi lebih peka
terhadap faktor-faktor yang mempe-ngaruhi tugas mereka dan interaksinya dengan
orang lain. Bila digunakan secara pedagogis, pendekatan kualitatif dapat
disatukan dalam pendidikan, lokakarya, atau pelatihan informal.
2.1.4 Rancangan Penelitian Kualitatif
Rancangan penelitian merupakan
rencana dan struktur penyelidikan yang disusun sedemikian rupa, sehingga
peneliti akan dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitiannya
(Kerlinger, 1986). Rencana itu merupakan suatu skema menyeluruh yang mencakup
program penelitian. Struktur merupakan kerangka, pengaturan, atau konfigurasi
unsur-unsur struktur yang terhubungkan dengan cara-cara yang jelas serta
tertentu.
Menurut Bogdan dan Taylor
(dalam Syamsuddin AR dan Damaianti, 2006) rancangan penelitian kualitatif
dilakukan sebelum ke lapangan, ketika peneliti berada pada tahap mempersiapkan
diri. Lebih lanjut, kedua pakar tersebut mengingatkan bahwa rancangan
penelitian kualitatif berbeda dari metodologi penelitian lainnya. Misalnya,
dalam riset kuantitatif, sebelumnya peneliti telah menetapkan secara apriori
mengenai tujuan-tujuan penelitian serta prosedur yang akan dilakukannya. Penelitian
kualitatif bersifat fleksibel, termasuk ketika telah terjun ke lapangan.
Sekalipun peneliti kualitatif harus mengikuti metodologi tertentu, tetapi
pokok-pokok pendekatan tetap dapat berubah pada waktu penelitian sedang
dilakukan.
Apa yang membedakan rancangan
kualitatif dengan semua jenis rancangan metode yang lainnya adalah bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh peneliti kualitatif disusun dalam bentuk
yang umum (general terms). Kebanyakan para peneliti kualitatif berusaha
memasuki lapangan penelitian tanpa membawa keranjang hipotesis tertentu atau
prateori-prateori yang telah dikonsep terlebih dahulu. Memasuki lapangan dengan
seperangkat hipotesis tertentu sama artinya dengan memaksakan prakonsepsi dan
mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman konsep (misconceptions) dengan
situasi yang senyatanya.
Ketika peneliti kualitatif
memasuki lapangan dengan membawa rancangan yang disusun sedemikian rupa, ada
kemungkinan tidak sesuai dengan situasi senyatanya. Pertanyaan-pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya mungkin tidak mempunyai relevansi dengan situasi
objek yang diteliti. Menghadapi hal yang demikian, peneliti kualitatif harus
mulai membuat formulasi rancangan yang baru (new research design) lagi
atau taktik baru lagi dan mulai menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berbeda;
dalam berbagai hal, dan meninggalkan situasi yang satu ke situasi yang lain
(Geer dalam Hammond, 1964; Bogdan & Taylor, 1975).
Dari deskripsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa rancangan penelitian kualitatif/naturalistik pada awalnya
belum dapat direncanakan secara rinci, lengkap, dan pasti. Oleh sebab itu,
belum ada langkah-langkah yang jelas, yang dapat diikuti sejak awal sampai
akhir sebagaimana penelitian kuantitatif. Bahkan masalah yang akan diteliti pun
belum dapat dirumuskan dengan jelas dan tegas. Dengan demikian, rancangan
penelitian bersifat “emergent, evolving, developing”, sehingga rancangan
yang dibuat harus siap diubah-ubah secara berulang-ulang sesuai dengan latar
alami yang ada (sehingga disebut juga penelitian naturalistik). Rumusan masalah
juga perlu adaptasi, dan dirumuskan kembali berulang kali, peneliti tidak perlu
terikat pada rumusan semula dan dapat mengubahnya kembali jika diperoleh
informasi atau data baru.
2.1.5 Unsur-unsur Desain Penelitian
Kualitatif
Berbeda dengan penelitian
konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, rancangan
tidak ditentukan sebelumnya. Namun demikian, fungsi rancangan tetap sama, yaitu
digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang
bagaimana melangkah maju (Bogdan & Bikien, 1982). Berkaitan dengan
rancangannya, Lincoln dan Guba (1985) mengidentifikasi unsur-unsur atau
elemen-elemen desain naturalistik sebagai berikut.
1) Penentuan fokus penelitian, yaitu dengan
memilih fokus atau pokok permasalahan
yang
dipilih untuk diteliti, dan bagaimana memfokuskannya. Masalah mula-mula
sangat
umum, kemudian mendapatkan fokus yang ditujukan pada hal-hal yang
lebih
spesifik. Akan tetapi, fokus itu masih dapat berubah. Fokus sangat penting
sebab
tidak ada penelitian tanpa fokus, sedangkan sifat fokus bergantung dan jenis
penelitian yang dilaksanakan. Misalnya, untuk penelitian fokusnya adalah
masalah,
untuk evaluasi fokusnya adalah evaluan, dan untuk analisis kebijakan
fokusnya
adalah pilihan kebijakan.
2) Penyesuaian paradigma dengan fokus penelitian.
Dalam penelitian kualitatif
pertanyaan-pertanyaan
berikut akan timbul dalam penyusunan penelitian, di
antaranya seperti berikut. (a) Apakah fenomena terwakili oleh konstruksi
yang
kompleks
(a multiciplicity of complex social constructions)? (b) Sampai di mana
tingkatan interaksi peneliti dengan fenomena dan sampai di mana tingkat
ketidakpastian interaksi yang dihadapkan kepada peneliti? (c) Sampai di
mana
tingkat
kebergantungan konteks? (d) Apakah beralasan (reasonable) untuk
menyatakan hubungan kausal yang konvensional pada unsur-unsur fenomena
yang
diamati
ataukah hubungan antar gejala itu bersifat saling bergantung? (e) Sampai
dimana kemungkinan nilai-nilai merupakan hal
yang krusial pada hasil (context
and time bound atau context and time free
generalization)?
3) Penyesuaian paradigma penelitian dengan teori
substantif yang dipilih. Kesesuaian
acuan
teori yang digunakan (kalau ada) dengan sifat sosial yang diacu sangat
penting
dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian kualitatif apabila temuan-
temuan
dapat memunculkan grounded theory maka penelitian tersebut dapat
dilanjutkan. Teori yang muncul itu hendaknya ajeg dengan paradigma
metode
yang
menghasilkan teori tersebut.
4) Penentuan di mana dan dari siapa data akan
dikumpulkan. Pada penelitian
kualitatif tidak ada pengertian populasi. Teknik sampling juga berbeda
tafsirannya
dengan
metode lainnya. Pada penelitian kualitatif, sampling merupakan pilihan
peneliti tentang aspek apa, dan peristiwa apa,
dan siapa yang dijadikan fokus pada
saat dan situasi tertentu. Oleh karena itu,
penentuan data dilakukan terus-menerus
sepanjang penelitian. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup
sebanyak
mungkin
informasi yang bersifat holistik kontekstual. Dengan kata lain, sampling
tidak
harus representatif terhadap populasi, tetapi representatif terhadap informasi
yang
holistik.
Dalam
merencanakan sampling dipertimbangkan langkah langkah berikut: (a)
menyiapkan
identifikasi unsur-unsur awal; (b) menyiapkan munculnya sample
secara
teratur dan purposif; (c) menyiapkan penghalusan atau pemfokusan sample
secara
terus-menerus; dan (d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan,
rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satu
pun
langkah
yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya
penelitian di lapangan.
5) Penentuan fase-fase penelitian secara
berurutan. Pada penelitian kualitatif
ditentukan tahap-tahap penelitian, dan bagaimana prosedurnya dan tahap
satu ke
tahap
yang lain dalam proses yang berbentuk siklus. Tahapan-tahapan tersebut
memiliki
tiga fase pokok: Pertama, tahap orientasi dengan mendapatkan informasi
tentang
apa yang penting untuk ditemukan, atau orientasi dan peninjauan. Kedua,
tahap
eksplorasi dengan menemukan sesuatu secara eksploratif terfokus, dan
ketiga,
mengecek temuan menurut prosedur yang tepat dan memperoleh laporan
akhir.
6) Penentuan instrumentasi. Instrumen penelitian
bukan bersifat eksternal, melainkan
bersifat
internal, yaitu peneliti sendiri sebagai instrumen (human instrument).
Bentuk-bentuk lain instrumen boleh dipergunakan jika ada. Untuk semua
penelitian naturalistik, evaluasi atau analisis kebijakan sangat
bermanfaat apabila
instrumen manusia diorganisasikan dalam satu tim.
7) Perencanaan pengumpulan data. Instrumen manusia
beroperasi dalam situasi yang
tidak
ditentukan. Peneliti memasuki lapangan yang terbuka, sehingga tidak
mengetahui apa yang tidak diketahui (I don’t know that I don’t know).
Untuk itu
peneliti
haruslah mengandalkan teknik-teknik kualitatif, seperti wawancara,
observasi, pengukuran, dokumen, rekaman, dan indikasi nonverbal. Dalam
rekaman,
data terbagi pada dua dimensi, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas
mengacu
pada kemampuan peneliti untuk menunjukkan bukti secara nyata dari
lapangan
(fidelitas tinggi, misalnya rekaman video atau audio, sedangkan fidelitas
kurang,
misalnya catatan lapangan). Adapun dimensi struktur meliputi
terstrukturnya wawancara dan observasi.
8) Perencanaan prosedur analisis. Analisis data
dilakukan sepanjang penelitian dan
dilakukan
secara terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian. Pengamatan
tidak
mungkin tanpa analisis dan tafsiran untuk mengetahui apa maknanya.
Analisis
dilakukan untuk mengembangkan dugaan-dugaan dan teori berdasarkan
data yang
diperoleh. Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan
secara
sistematis dari transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan, sadap
rekam,
dan bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data
melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data,
serta
pencarian
pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuan apa yang
dilaporkan. Karena banyaknya model analisis yang diajukan oleh para
pakar,
peneliti
hendaknya memilih salah satu model yang dianjurkan oleh para pakar
tersebut,
misalnya model analisis Glaser-Strauss, Bogdan-Biklen, Lincoln-Guba,
Miles-Huberman, Patton, atau Spradley.
9) Perencanaan logistik. Perencanaan perlengkapan
atau logistik dalam penelitian
kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: (a)
mempertimbang-
kan
kebutuhan logistik awal secara keseluruhan sebelum pelaksanaan proyek;
(b)
logistik untuk kunjungan lapangan sebelum berada di lapangan; (c) logistik
untuk
saat di lapangan; (d) logistik untuk kegiatan-kegiatan setelah kunjungan
lapangan; dan (e) perencanaan logistik untuk mengakhiri dan menutup
kegiatan.
Perencanaan logistik mi biasanya dilakukan pada penelitian penelitian
proyek atau
institusional, sedangkan dalam penelitian akademik jarang sekali
dilakukan.
10) Rencana untuk pemeriksaan keabsahan data.
Pemeriksaan keabsahan data dalam
penelitian kualitatif meliputi empat teknik, yaitu (a) kredibilitas (credibility),
yaitu
kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang
dikumpulkan.
Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua
pembaca secara kritis dari responden sebagai informan. Untuk hasil
penelitian
yang
kredibel, terdapat tujuh teknik yang diajukan yaitu: perpanjangan kehadiran
peneliti/pengamat (prolonged engagement), pengamatan
terus-menerus
(persistent
observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer
debriefing),
analisis kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas
kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan
pengecekan anggota
(member
checking). (b) Transferabilitas (transferability), kriteria ini
digunakan
untuk
memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks
atau
setting tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang
sama.
(c) Dependabilitas (dependability), kriteria mi dapat digunakan untuk
menilai
apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek:
apakah
si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam meng-
konseptualisasikan rencana penelitiannya, dalam pengumpulan data, dan
dalam
penginterpretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability
audit
dengan
meminta dependent dan independent auditor untuk mereview
aktivitas
peneliti. (d) konfirmabilitas (confirmability), kriteria untuk
menilai kebermutuan
hasil
penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dan proses
yang
ditempuh oleh peneliti, konfirmabilitas
digunakan untuk menilai kualitas
hasil
penelitian sendiri, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi
serta
interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail.
2.1.6
Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif
2.1.6.1 Instrumen Penelitian
Pada penelitian kualitatif, yang menjadi
instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (human instrument).
Dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian adalah kualitas
instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Oleh karena itu, kedua hal
tersebut harus mendapat, dengan baik
oleh seorang peneliti kualitatif. Kualitas instrumen berkenaan dengan validitas
dan reliabilitas instrumen, sedangkan kualitas pengumpulan data berkenaan
dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data (Sugiyono,
2005).
Mengingat
instrumen utama penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, peneliti
sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif
siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi
terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode
penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti,
kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistiknya. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri melalui evaluasi
diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan
terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
Peneliti
kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, melakukan analisis data, menafsirkan data, dan membuat
kesimpulan data atas temuan penelitian. Peneliti dalam penelitian kualitatif
merupakan instrumen kunci (key instrument).
Nasution
(dalam Sugiyono, 2005:60) mengemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak
ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian
utama. Alasannya ialah bahwa pada awalnya segala sesuatunya belum jelas dan
belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur
penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu
semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala
sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian. Dalam keadaan yang
demikian hanya peneliti sendiri sebagai instrumen utama yang dapat mencapainya.
Akan tetapi setelah masalahnya jelas dan pasti barulah dapat dikembangkan suatu
instrumen.
Instrumen
yang dikembangkan selanjutnya tersebut diharapkan dapat melengkapi data dan
membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara.
Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour question,
tahap focused and selection, mengumpulkan data, menganalisis
data, dan membuat kesimpulan.
Peneliti
sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif dipandang tepat karena
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi
terhadap segala stimulus dari ling-
kungan
yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.
2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri
terhadap semua aspek keadaan dan
dapat
mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada
suatu instrumen berupa tes berupa
tes
atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia
tidak dapat dipahami dengan pe-
ngetahuan semata. Untuk memahaminya, kita perlu sering merasakannya dan
me-
nyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera
menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat
menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah
pengamatan dan untuk mengetes hipotesis seketika.
6) Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat
mengambil kesimpulan berdasarkan
data
yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakannya segera sebagai ba-
likan
untuk memperoleh penegasan, perubahan, dan perbaikan.
7) Manusia sebagai instrumen dapat memberikan
perhatian terhadap berbagai macam
respon/fenomena yang teramati. Respon yang lain daripada yang lain
bahkan
yang
bertentangan dapat dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan pe-
haman
mengenai aspek yang diteliti.
2.1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), sumber
data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan
serta (participant observation), wawancara mendalam (in depth
interview), dan dokumentasi.
1.
Pengumpulan Data dengan Observasi
Marshall
(1995) menyatakan bahwa “through observation, the researcher learn about
behavior and the meaning attached to those behavior” Melalui observasi,
peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Faisal
(1990) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi (participant
observation), observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt
observation dan covert observation), dan observasi yang tak
berstruktur (unstructured observation). Selanjutnya, Spradley (dalam
Stainback, 1988) membagi observasi berpartisipasi menjadi empat, yaitu pasive
participation, moderate participation, active participation, dan complete
participation.
1)
Observasi partisipatif.
Dalam observasi ini, peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang
digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti
ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka
dukanya. Dengan observasi partisipan ini, data yang diperoleh akan lebih
lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dan setiap perilaku
yang tampak.
Stainback
(1988) menyatakan “In participant observation, the researcher observes what
people do, listent to what they say, and participates in their activities”.
Pada observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang,
mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas
mereka. Observasi ini dapat digolongkan menjadi empat, yaitu partisipasi pasif,
partisipasi moderat, observasi yang terus terang dan tersamar, dan observasi
yang lengkap.
a)
Partisipasi pasif (passive participation): means the research is
present at the scene
of
action but does not interact or participate.
Jadi, dalam hal ini peneliti datang di
tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi
tidak ikut terlibat dalam aktivitas
orang yang diobservasi.
b)
Partisipasi moderat (moderate participation): means that the
researcher maintains
a
balance between being insider and being outsider.
Dalam observasi ini terdapat
keseimbangan antara peneliti menjadi orang
dalam dan orang luar. Peneliti dalam
mengumpulkan data ikut observasi
partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi
tidak semuanya.
c) Partisipasi aktif (active partisipation):
means that the researcher generally does
what
others in the setting do. Dalam observasi ini,
peneliti ikut melakukan apa
yang
dilakukan oleh narasumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap.
d)
Partisipasi lengkap (compliete participation): means the researcher is a
natural
participant. This is the highest level of
involvement. Saat melakukan
pengumpulan data, peneliti sudah terlibat
sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan
sumber data. Jadi, suasananya sudah natural,
peneliti tidak terlihat melakukan
penelitian. Hal ini merupakan keterlibatan
peneliti yang tertinggi terhadap
aktivitas kehidupan yang diteliti.
2)
Observasi terus terang atau tersamar
Dalam
hal ini peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang
kepada sumber data bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi, mereka yang
diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang akivivitas peneliti. Akan
tetapi, dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam
observasi. Hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan
data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan dengan terus
terang, peneliti tidak akan diizinkan
untuk melakukan observasi.
3)
Observasi tak berstruktur
Observasi
dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak berstruktur, karena fokus
penelitian belum jelas. Fokus observasi akan berkembang selama kegiatan
observasi berlangsung. Kalau masalah penelitian sudah jelas seperti dalam
penelitian kuantitatif, observasi dapat dilakukan secara berstruktur dengan
menggunakan pedoman observasi.
Observasi
tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis
tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu
secara pasti tentang apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan,
peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya berupa
rambu-rambu pengamatan.
Manfaat
Observasi
Patton
(dalam Nasution), menyatakan bahwa manfaat observasi adalah sebagai berikut.
1) Dengan observasi di lapangan
peneliti akan lebih mampu memahaini konteks data dalam keseluruhan situasi
sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh.
2) Dengan observasi, akan diperoleh
pengalaman langsung sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan
induktif. Jadi, tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya.
Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
3) Dengan observasi, peneliti dapat
melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang
berada dalam lingkungan itu karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak
akan terungkapkan dalam wawancara.
4) Dengan observasi, peneliti dapat
menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam
wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan
nama lembaga.
5) Dengan observasi, peneliti dapat
menemukan hal-hal yang di luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh
gambaran yang lebih komprehensif.
6) Melalui pengamatan di lapangan,
peneliti tidak hanya mengumpulkan daya yang kaya, tetapi juga memperoleh
kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.
Objek
observasi
Objek penelitian dalam penelitian
kualitatif yang diobservasi menurut Spradley dinamakan situasi sosial, yang
terdiri atas tiga komponen, yaitu place (tempat), actor (pelaku),
dan activities (aktivitas).
1) Place atau tempat di mana interaksi
dalam situasi sosial sedang berlangsung.
2) Actor, pelaku atau orang-orang yang
sedang memainkan peran tertentu.
3) Activity atau kegiatan
yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung.
Tiga
elemen utama tersebut dapat diperluas sehingga apa yang dapat kita amati
adalah:
1)
space: the physical place: ruang dalam aspek fisiknya,
2)
Actor: the people involve: semua orang yang terlibat dalam situasi
sosial,
3)
Activity: a set of related acts people do: seperangkat kegiatan yang
dilakukan
orang,
4)
Object: the physical things that are present: benda-benda yang terdapat
di tempat
itu,
5)
Act: single actions that people do: perbuatan atau tindakan-tindakan
tertentu,
6) Event: a set of related
activities that people carry out: rangkaian aktivitas yang dikerjakan
orang-orang,
7)
Time: the sequencing that takes place over time: urutan kegiatan,
8)
Goal: the things people are trying to accomplish: tujuan yang ingin
dicapai orang-
orang
9) Feeling: the emotion felt and
expressed: emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh orang-orang.
Dalam
melakukan pengamatan, kita dapat menentukan pola sendiri. berdasarkan pola tersebut,
misalnya jika kita akan melakukan pengamatan terhadap situasi sosial bidang
pendidikan, tempatnya adalah lingkungan fisik sekolah, aktornya adalah para guru, kepala sekolah,
murid dan orang-orang yang ada di lingkungan dengan segala karakteristiknya,
aktivitasnya adalah kegiatan belajar mengajar, pelaksanaan manajemen sekolah,
komunikasi sekolah dengan lingkungan, dan lain-lain.
Tahapan
observasi
Menurut
Spradley (1980), tahapan observasi ada tiga, yaitu 1) observasi deskriptif, 2)
observasi terfokus, dan 3) observasi terseleksi.
(1)
Observasi deskriptif
Observasi
deskriptif dilakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu
sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini, peneliti belum membawa masalah yang
akan diteliti sehingga peneliti melakukan penjelajah umum dan menyeluruh,
melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua
data direkam. Oleh karena itu, hasil dan observasi ini disimpulkan dalam
keadaan yang belum tertata. Observasi tahap ini sering disebut sebagai grand
tour observation dan peneliti menghasilkan kesimpulan pertama. Bila dilihat dan
segi analisis, peneliti malakukan analisis domain sehingga mampu
mendeskripsikan semua yang ditemui.
(2)
Observasi terfokus
Pada
tahap ini peneliti sudah melakukan mini tour observation, yaitu suatu observasi
yang telah dipersempit untuk difokuskan pada aspek tertentu. Observasi ini juga
dinamakan observasi terfokus karena pada tahap ini peneliti melakukan analisis
taksonomi sehingga dapat menemukan fokus.
(3)
Observasi terseleksi
Pada
tahap observasi ini, peneliti telah menguraikan fokus yang ditemukan sehingga
datanya lebih rinci. Dengan melakukan analisis komponensial terhadap fokus,
pada tahap ini peneliti telah menemukan karakteristik,
kontras-kontras/perbedaan dan kesamaan antarkategori, serta menemukan hubungan
antara satu kategori dan kategori yang lain. Pada tahap ini diharapkan peneliti
telah dapat menemukan pemahaman yang mendalam atau hipotesis. Menurut Spradley,
observasi terseleksi ini masih dinamakan tour observation.
2.
Pengumpulan Data dengan Wawancara/Interview
Esterberg
(2002) mendefiniskan interview sebagai berikut. “A meeting of two
persons to exchange information and idea through question and responses,
resulting in communication and joint construction of meaning about a particular
topic”. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu.
Wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan
studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.
Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri
atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau
keyakinan pribadi.
Stainback
(1988) mengemukakan bahwa interviewing
provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the
participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through
observation alone. Jadi, dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal
yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan
fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Selanjutnya,
Esterberg (2002) menyatakan bahwa Interviewing
is at the ‘heart of social research. If you look through almost any
sociological journal, you will find that much social research is based on
interview, either standardized or more in-dept. Interview merupakan hatinya
penelitian sosial. Bila Anda lihat jurnal dalam ilmu sosial, akan Anda temui
semua penelitian sosial didasarkan pada interview, baik yang standar maupun
yang dalam.
Dalam
penelitian kualitatif sering digabungkan teknik observasi partisipatif dengan
wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan
interview kepada orang-orang ada di dalamnya.
1)
Macam-macam Interview /Wawancara
Esterberg
(2002) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur,
dan tidak terstruktur.
(1)
Wawancara terstruktur (Structured interview)
Wawancara
terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti atau
pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan
diperoleh. Oleh karena itu, dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang
alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini,
setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya.
Dengan wawancara terstruktur ini pula, pengumpulan data dapat menggunakan
beberapa pewawancara sebagai pengumpul data. Supaya setiap pewawancara
mempunyai keterampilan yang sama, diperlukan training kepada calon pewawancara.
Dalam
melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk
wawancara, pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape
recorder, gambar, brosur, dan material lain yang dapat membantu pelaksanaan
wawancara menjadi lancar. Peneliti bidang pembangunan, misalnya, bila akan
melakukan penelitian untuk mengetahui respon masyarakat terhadap berbagai
pembangunan yang telah diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
perlu membawa foto-foto atau brosur tentang berbagai jenis pembangunan yang
telah dilakukan, misalnya pembangunan gedung sekolah, bendungan untuk pengairan
sawah-sawah, pembangunan pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.
(2)
Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview)
Jenis
wawancara ini sudah termasuk dalam kategori indept interview.
Pelaksanaan wawancara ini lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara
terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka. Pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti
perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh
informan.
(3)
Wawancara tak berstruktur (unstructured interview)
Wawancara
tidak terstruktur, adalah wawancara yang bebas. Dalam wawancara ini, peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Wawancara
tidak terstruktur atau terbuka, sering digunakan dalam penelitian pendahuluan
atau malahan untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti.
Pada penelitian pendahuluan, peneliti berusaha mendapatkan informasi awal
tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada objek sehingga peneliti
dapat menentukan secara pasti permasalahan atau variabel apa yang harus
diteliti. Untuk mendapatkan gambaran permasalahan yang lebih Iengkap, peneliti
perlu melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang mewakili berbagai tingkatan
yang ada dalam objek, misalnya, akan melakukan penelitian tentang iklim kerja
perusahaan, dapat dilakukan wawancara dengan pekerja tingkat bawah, supervisor,
dan manajer.
Untuk
mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang responden, peneliti dapat juga
menggunakan wawancara tidak terstruktur. Misalnya, seseorang yang dicurigai
sebagai penjahat, peneliti akan melakukan wawancara tidak terstruktur secara
mendalam sampai diperoleh keterangan bahwa orang tersebut penjahat atau bukan.
Dalam
wawancara tidak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data apa
yang akan diperoleh sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang
diceriterakan oleh responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dan
responden tersebut, peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya
yang lebih terarah pada isi tujuan. Dalam melakukan wawancara peneliti dapat
menggunakan cara “berputar-putar baru menukik” artinya pada awal wawancara,
yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan, dan bila
sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang menjadi tujuan, segera
ditanyakan.
Wawancara
baik yang dilakukan dengan face to face maupun yang menggunakan pesawat
telepon, akan selalu terjadi kontak pribadi. Oleh karena itu, pewawancara perlu
memahami situasi dan kondisi sehingga dapat memilih waktu yang tepat kapan dan
di mana harus melakukan wawancara. Pada saat responden sedang sibuk bekerja,
sedang mempunyai masalah berat, sedang mulai istirahat, sedang tidak sehat,
atau sedang marah, peniliti harus hati-hati dalam melakukan wawancara. Kalau
dipaksakan wawancara dalam kondisi seperti itu, akan dihasilkan data yang tidak
valid dan akurat.
Bila
responden yang akan diwawancarai telah ditentukan orangnya, sebaiknya sebelum
melakukan wawancara, pewawancara meminta waktu terlebih dulu, kapan dan di mana
bisa melakukan wawancara. Dengan cara ini, suasana wawancara akan lebih baik
sehingga data yang diperoleh akan lebih lengkap dan valid.
Informasi
atau data yang diperoleh dan wawancara sering bias. Bias adalah
menyimpang dari yang seharusnya
sehingga dapat dinyatakan data tersebut subjektif
dan tidak akurat. Kebiasaan data
ini akan tergantung pada pewawancara, yang
diwawancarai (responden) dan
situasi dan kondisi pada saat wawancara. Pewawan-
cara yang tidak dalam posisi
netral, misalnya, ada maksud tertentu, diberi sponsor
akan memberikan interpretasi data
yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
responden. Responden akan memberi
data yang bias bila responden tidak dapat
menangkap dengan jelas apa yang
ditanyakan peneliti atau pewawancara. Oleh
karena itu, peneliti jangan memberi
pertanyaan yang bias. Selanjutnya, situasi dan
kondisi seperti yang juga telah
dikemukakan tersebut, sangat mempengaruhi proses
wawancara, yang pada akhirya juga
akan mempengaruhi validitas data.
Hasil wawancara segera harus dicatat
setelah selesai melakukan wawancara agar tidak lupa bahkan hilang. Karena
wawancara dilakukan secara terbuka dan tidak berstruktur, peneliti perlu
membuat rangkuman yang lebih sistematis terhadap hasil wawancara dan berbagai
sumber data, perlu dicatat mana data yang dianggap penting, yang tidak penting,
data yang sama dikelompokkan. Hubungan satu data dengan data yang lain perlu
dikonstruksikan sehingga menghasilkan pola dan makna tertentu. Data yang masih
diragukan perlu ditanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar
memperoleh ketuntasan dan kepastian.
3.
Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen
Dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dan seseorang. Dokumen yang berbentuk
tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (histories), cerita,
biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto,
gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya
karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi
dokumen merupakan pelengkap dan penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif. Dalam hal dokumen Bogdan menyatakan “In most
tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly
to refer to any first person narrative produced by an individual which
describes his or her own actions, experience and belief.
Hasil
penelitian dan observasi atau wawancara, akan lebih kredibel, dapat dipercaya
kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di
tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Publish autobiographies
provide a readiley available source of data for the discerning qualitative
research (Bogdan). Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila
didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Photographs
provide strikingly descriptive data, are often used to understant the
subjective and is product are frequeltly analyzed inductive.
Akan
tetapi perlu dicermati bahwa tidak semua dokumen memiliki kredibilitas yang
tinggi. Sebagai contoh banyak foto yang tidak mencerminkan keadaan aslinya
karena foto dibuat untuk kepentingan tertentu. Demikian juga autobiografi yang
ditulis untuk dirinya sendiri, sering subjektif.
4.
Triangulasi
Dalam
teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data
yang bersifat menggabungkan dan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber
data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan
triangulasi, sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji
kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik
pengumpulan data dan berbagai sumber data.
Triangulasi teknik,
berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk
mendapatkan data dan sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi
partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama
secara serempak. Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari
sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
Dalam
hal triangulasi, Stainback (1988) menyatakan bahwa “The aim is not to
determine the truth about some social phenomenon, rather the purpose of
triangulation is to increase one’s understanding of what ever is being
investigated”. Tujuan dan trianggulasi bukan untuk mencari kebenaran
tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada meningkatan pemahaman peneliti
terhadap apa yang telah ditemukan. Selanjutnya, Bogdan menyatakan “What the
qualitative researcher is interested in is not truth per Se, but rather
perspectives. Thus, rather than trying to deterinine the “truth” of people ‘s
perceptions, the purpose of corroboration is to help researchers increase their
understanding and the probability that their finding will be seen as credible
or worthy of concideration by others.”
Tujuan
penelitian kualitatif memang bukan semata-mata mencari kebenaran, tmelainkan
lebih pada pemahaman subjek terhadap dunia sekitarnya. Dalam memahami dunia
sekitarnya, mungkin apa yang dikemukakan subjek salah karena tidak sesuai
dengan teori, tidak sesuai dengan hukum. Selanjutnya, Mathinson (1988)
mengemukakan bahwa “The value of triangulation lies in providing evidence —
whether convergent, inconsistent, or contracdictoy.” Nilai dan teknik
pengumpulan data dengan trianggulasi adalah untuk mengetahui data yang
diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena
itu, dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, data yang
diperoleh akan lebih konsisten, tuntas, dan pasti. Triangulasi can build on
the strengths of each type of data collection while ininiinizing the weakness
in any single approach (Patton 1980). Triangulasi akan lebih meningkatkan
kekuatan data bila dibandingkan dengan satu pendekatan.
2.1.6.3
Teknik Analisis Data
1.
Pengertian Analisis Data
Dalam
penelitian kuantitatif, teknik analisis data yang digunakan sudah jelas, yaitu
diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah
dirumuskan dalam proposal. Karena datanya kuantitatif, teknik analisis data
menggunakan metode statistik yang sudah tersedia, misalnya akan menguji
hipotesis hubungan antar dua variabel. Bila datanya ordinal, statistik yang
digunakan adalah Korelasi Spearman Rank, sedangkan bila datanya interval
atau ratio digunakan Korelasi Pearson Product Moment. Bila akan menguji
signifikasi komparasi data dua sampel, datanya interval atau ratio digunakan t-test
dua sampel, bila datanya noininal digunakan Chi Kuadrat. Selanjutnya, bila akan
menguji hipotesis komparatif lebih dan dua sampel, datanya interval, digunakan
Analisis Varian.
Dalam
penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan
teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara
terus menerus sampai datanya jenuh. Pengamatan yang terus- menerus tersebut
mengakibatkan variasi data tinggi sekali. Data yang diperoleh pada umumnya
adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak data kuantitatif) sehingga
teknik analisis data yang digunakan belum ada polanya yang jelas. Oleh karena
itu, kesulitan sering dialami dalam melakukan analisis, seperti dinyatakan oleh
Miles and Huberman (1984), “The most serious and central d in the use of
central d in the use of qualitative data is that methods of analysis are not
well formulate”. Yang paling serius dan sulit dalam analisis data
kualitatif adalah karena metode analisis belum dirumuskan dengan baik.
Selanjuthya Susan Stainback menyatakan, “There are no guidelines in
qualitative research for deterinining how much data and data analysis are
necessary to support and assertion, conclusion, or theory”. Belum ada
panduan dalam penelitian kualitatif untuk menentukan berapa banyak data dan
analisis yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau teori. Selanjutnya,
Nasution menyatakan bahwa: melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit,
memerlukan kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan
intelektual yang tinggi. Tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk
mengadakan analisis sehingga setiap peneliti harus mencari sendiri metode yang
dirasakan cocok dengan sifat penelitiannya. Bahan yang sarna bisa
diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda.”
Dalam
hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan, “Data analysis is the process of
systematically searching and arranging the interview transcripts, fleidnotes,
and other materials that you accumulate to increase your own understanding of
them and to enable you to present what you have discovered to others”.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga
dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat dinformasikan kepada orang lain.
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam
unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipejari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan
kepada orang lain. Stainback, mengemukakan, “Data analysis is critical to
the qualitative research process. It is to recognition, study, and
understanding of interrelationship and concept in your data that hypotheses and
assertions can be developed and evaluated”. Analisis data merupakan hal
yang kritis dalam proses penelitian kualitatif.
Berdasarkan
hal tersebut tersebut dapat dikemukakan di sini bahwa, analisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan
data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri atau orang lain.
Analisis
data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis
yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi
secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis
tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila
berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik
triangulasi ternyata hipotesis diterima, hipotesis tersebut berkembang menjadi
teori.
2.
Proses Analisis Data
Analisis
data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan,
selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution
(1988) menyatakan bahwa analisis telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan
masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan
hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya
sampai jika mungkin teori yang grounded”. Namun, dalam penelitian
kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan
dengan pengumpulan data. In fact, data analysis in qualitative research is
an on going activity that occurs through out the investigative process rather
than after process. Dalam kenyataannya, analisis data kualitatif
berlangsung selama proses pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan
data.
1)
Analisis Sebelum di Lapangan
Penelitian
kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan.
Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder
yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun, demikian fokus
penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti
masuk dan selama di lapangan. Jadi, ibarat seseorang ingin mencari pohon jati
di suatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim, dapat diduga bahwa
hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh karena itu, peneliti dalam membuat
proposal penelitian, fokusnya adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan
tersebut, berikut karakteristiknya.
Setelah
peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada pohon
jatinya. Peneliti kuantitatif tentu akan membatalkan penelitiannya, tetapi
kalau peneliti kualitatif tidak karena fokus penelitian bersifat sementara dan
akan berkembang setelah di lapangan. Bagi peneliti kualitatif, kalau fokus
penelitian yang dirumuskan pada proposal tidak ada di lapangan, peneliti akan
mengubah fokusnya, tidak lagi mencari kayu jati di hutan, tetapi akan berubah
dan mungkin setelah masuk hutan tidak lagi tertarik pada kayu jati, tetapi
beralih ke pohoh-pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada di
hutan tersebut.
2.
Analisis Data selama di Lapangan Model Miles dan Huberman
Menurut
Miles and Huberman (dalam Sugyono, 2005) analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai
pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah
melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang
diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, peneliti akan
melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang
dianggap kredibel. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data
display, dan conclusion drawing.
a.
Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh dan lapangan
jurnlahnya cukup banyak sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti
telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan
rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer, dengan
memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
Dengan
reduksi, peneliti merangkum, mengambil data yang pokok dan penting, membuat
kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil, dan angka. Data yang tidak
penting yang diilustrasikan dalam bentuk simbol-simbol seperti %, #, dsb,
dibuang karena dianggap tidak penting bagi peneliti.
Dalam
suatu situasi sosial tertentu, peneliti dalam mereduksi data mungkin akan
memfokuskan pada orang miskin, pekerjaan sehari-hari yang dikerjakan, dan rumah
tinggalnya. Dalam bidang manajemen, dalam mereduksi data mungkin peneliti akan
memfokuskan pada bidang pengawasan, dengan melihat perilaku orang-orang yang
jadi pengawas, metode kerja, tempat kerja, interaksi antara pengawas dan yang
diawasi, serta hasil pengawasan. Dalam bidang pendidikan, setelah peneliti
memasuki setting sekolah sebagai tempat penelitian, dalam mereduksi data
peneliti akan terfokus pada murid-murid yang memiliki kecerdasan tinggi dengan
mengkategorikan pada aspek, gaya belajar, perilaku sosial, interkasi dengan
keluarga dan lingkungan, dan perilaku di kelas.
Dalam
mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai.
Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu,
kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang
dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus
dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data. Ibarat melakukan
penelitian di hutan, pohon-pohon atau tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang
yang belum dikenal selama ini justru dijadikan fokus untuk pengamatan
selanjutnya.
Reduksi
data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasasan dan
keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Peneliti yang masih baru, dalam melakukan
reduksi data dapat mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang
ahli. Melalui diskusi itu, wawasan peneliti akan berkembang sehingga dapat
mereduksi data-data yang meiniliki nilai temuan dan pengembangan teori yang
signifikan.
b.
Data Display (Penyajian Data)
Setelah
data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Kalau dalam
penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel,
grafik, phie chard, piktogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut,
data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan semakin mudah
dipahami.
Dalam
penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini
Miles and Huberman (1984) menyatakan “The most frequent form of display data
for qualitative research data in the past has been narrative text”. Yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Dengan
mendisplaykan data, peneliti akan mudah memahami apa yang terjadi, merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. “Looking at
displays help us to understand what is happening and to do some thing-further analysis
or caution on that understanding Miles and Huberman (1984)”. Selanjutnya,
disarankan, display data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa,
grafik, matriks, network (jaring kerja) dan chart. Untuk mengecek apakah
peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, perlu dijawab pertanyaan
berikut. Apakah Anda tahu, apa isi yang didisplaykan?
Dalam
mendisplaykan data, huruf besar, huruf kecil dan angka disusun ke dalam urutan
sehingga strukturnya dapat dipahami. Selanjutnya, setelah dilakukan analisis
secara mendalam, ternyata ada hubungan yang interaktif antara tiga kelompok
tersebut.
Praktiknya
tidak semudah ilustrasi yang diberikan karena fenomena sosial bersifat kompleks
dan dinamis sehingga apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah
berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Oleh karena
itu, peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki
lapangan yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah
lama memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung oleh
data pada saat dikumpulkan di lapangan, hipotesis tersebut terbukti, dan akan
berkembang menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah
teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di
lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus-menerus.
Bila
pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, pola
tersebut sudah menjadi pola yang baku yang tidak lagi berubah. Pola tersebut
selanjutnya didisplaykan pada laporan akhir penelitian.
c.
Conclusion Drawing /Verification
Langkah
ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data,
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dengan
demikian, kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan
masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak karena seperti
telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif
masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di
lapangan.
Kesimpulan
dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah
ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya
masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat
berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
3.
Analisis data Selama di Lapangan model Spradley
Spradley
(1980) membagi analisis data dalam penelitian kualitatif berdasarkan tahapan
dalam pénelitian kualitatif. Tahapan penelitian
Proses
penelitian kualitatif setelah memasuki lapangan dimulai dengan menetapkan
seseorang informan kunci “key informan yang merupakan informan yang berwibawa
dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek
penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut,
dan mencatat hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek
penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan
analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil dan analisis wawancara,
selanjutnya peneliti melakukan analisis domain. Pada langkah ketujuh peneliti
sudah menentukan fokus dan melakukan analisis taksonomi. Berdasarkan hasil analisis
taksonomi, selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kontras, yang dilanjutkan
dengan analisis komponensial. Hasil dan analisis komponensial, selanjutnya
peneliti menemukan tema-tema budaya. Berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya
peneliti menuliskan laporan penelitian etnografi.
Jadi,
proses penelitian berangkat dan yang luas, kemudian memfokus, dan meluas lagi.
Terdapat tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian kulitatif, yaitu
analisis domain, taksonomi, komponensial, dan analisis tema kultural.
a.
Analisis Domain
Setelah
peneliti memasuki obyek penelitian yang berupa situasi sosial yang terdiri
atas, place, actor dan activity (PAA), selanjutnya melaksanakan
observasi partisipan, mencatat hasil observasi dan wawancara, melakukan
observasi deskriptif, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis domain.
Dalam hal ini Spradley menyatakan: “Domain analysis is the first type of ethnographic
analysis. In later steps we will consider taxonoinic analysis, which involves a
search for the way cultural domains are organize, the componential analysis,
which involves a search for the attributes of terms in each domain. Finally, we
will consider theme analysis, which involves a search for the relationship
among domain and for how they are linked to the cultural scene as a whole”.
Analisis
domain merupakan langkah pertama dalam penelitian kualitatif. Langkah
selanjutnya adalah analisis taksonomi yang aktivitasnya adalah mencari
bagaimana domain yang dipilih itu dijabarkan menjadi lebih rinci. Selanjutnya,
analisis komponensial aktivitasnya adalah mencari perbedaan yang spesifik
setiap rincian yang dihasilkan dan analisis taksonomi. Yang terakhir adalah
analisis tema, yang aktivitasnya adalah mencari hubungan di antara domain dan
bagaimana hubungannya dengan keseluruhan, selanjutnya dirumuskan dalam suatu
tema atau judul penelitian. Dalam hal tema Spradley (1980) menyatakan “Theme
as a postulate or position, declare or implied, and usually controlling
behavior or stimulating activity, which tacitly approved or openly promoted in
society”.
Analisis
domain pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan
menyeluruh tentang situsi sosial yang diteliti atau objek penelitian. Data
diperoleh dan grand tour dan ininitour question. Hasilnya berupa gambaran umum
tentang objek yang diteliti, yang sebelumnya belum pernah diketahui. Dalam
analisis ini, informasi yang diperoleh belum mendalam, masih di permukaan,
tetapi sudah menemukan domain-domain atau kategori dan situasi sosial yang
diteliti.
Dalam
situasi sosial terdapat ratusan atau ribuan kategori. A category is an array
of difftrent objects that are treated as if they were equivalent (Spradley
1984). Suatu domain merupakan kategori budaya (cultur category)
terdiri atas tiga elemen yaitu cover term, included terms, dan
semantic relationship. Cover term adalah nama suatu domain budaya, included
term nama-nama yang lebih rinci yang ada dalam suatu kategori. Elemen
ketiga dan seluruh domain budaya adalah hubungan semantik antar kategori.
Mencari hubungan semantik ini merupakan hal yang penting untuk menemukan
berbagai domain budaya.
Untuk
menemukan domain dan konteks sosial/objek yang diteliti, Spradley menyarankan
untuk melakukan analisis hubungan semantik antarkategori yang meliputi sembilan
tipe. Tipe hubungan ini bersifat universal yang dapat digunakan untuk berbagai
jenis situasi sosial.
Kesembilan
hubungan semantik tersebut adalah: strict inclusion (jenis), spatial
(ruang), cause effect (sebab akibat), rationale (rasional), location
for action (lokasi untuk melakukan sesuatu), function (fungsi), means-end
(cara mencapai tujuan), sequence (urutan), attribution (atribut).
Pada tabel berikut ini diberikan contoh
analisis hubungan semantik untuk jenjang dan jenis pendidikan.
Contoh Analisis
Hubungan Semantik Pendidikan Kejuruan
No.
|
Hubungan
|
Bentuk
|
Contoh
|
1.
|
Jenis (strict
inclusion) SMK
|
X adalah jenis
dan Y
|
SMK adalah
jenis pendidikan kejuruan
|
2.
|
Ruang
(Spatial)
|
X adalah
tempat Y
|
Bengkel adalah
tempat praktik siwa SMK
|
3.
|
Sebab akibat
|
X adalah
akibat dari Y
|
Masuk sekolah
kejuruan karena ingin segera dapat bekerja
|
4.
|
Lokasi untuk
melakukan sesuatu
|
X merupakan
tempat untuk melakukan X
|
Laboratorium
merupakan tempat untuk pengujian bahan
|
5.
|
Cara mencapai
tujuan
|
X merupakan
cara untuk mencapai tujuan
|
Belajar rajin
dan tekun merupakan cara untuk mencapai sukses
|
6.
|
Fungsi
|
X digunakan
untuk fungsi Y
|
LCD digunakan
guru sebagai mendia
pembelajaran
teknik
|
7.
|
Urutan
|
X merupakan
tahap setelah Y
|
Belajar
praktek dengan mesin konvensional dulu, sebelum belajar dengan mesin yang
dikendalikan komputer
|
8.
|
Atribut/
karakteristik
|
X merupakan
karakteristik
Y
|
Karakterstik
sekolah kejuruan adalah adanya bengkel untuk tempat praktik
|
Untuk
memudahkan dalam melakukan analisis domain terhadap data yang telah terkumpul
dan observasi, pengamatan dan dokumentasi, sebaiknya digunakan lembaran kerja
analisis domain (domain analysis worksheet), seperti contoh seperti pada tabel tersebut.
Melalui
lembaran kerja tersebut, semua included term (rincian domain yang
sejenis dikelompokkan) selanjutnya dimasukkan ke dalam tipe hubungan semantik
yang mana (sembilan hubungan), dan setelah itu dapat ditentukan masuk ke dalam
domain apa. Sebagai contoh pendidikan penduduk yang lulusan SD, SLTP, SLTA, dan
Perguruan Tinggi sebagai domain dan pendidikan penduduk masyarakat tertentu.
b.
Analisis Taksonomi
Setelah
peneliti melakukan analisis domain sehingga ditemukan domain-doinian atau
kategori dan situasi sosial tertentu, selanjutnya domain yang dipilih oleh
peneliti dan selanjutnya ditetapkan sebagai fokus penelitian, perlu diperdalam
lagi melalui pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data dilakukan secara
terus menerus melalui pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga
data yang terkumpul menjadi banyak. Oleh karena itu pada tahap ini diperlukan
analisis lagi yang disebut dengan analisis taksonomi. Jadi, analisis taksonomi
adalah analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain
yang telah ditetapkan. Dengan demikian, domain yang telah ditetapkan menjadi cover
term oleh peneliti dapat diurai secara lebih rinci dan mendalam melalui
analisis taksonomi in Hasil analisis taksonomi dapat disajikan dalam bentuk
diagram kotak (box diagram), diagram garis dan simpul, (lines and node
diagram) dan out line.
c.
Analisis Komponensial
Dalam
analisis taksonomi, yang diurai adalah domain yang telah ditetapkan menjadi
fokus. Melalui analisis taksonomi, setiap domain dicari elemen yang serupa atau
serumpun. Ini diperoleh melalui observasi dan wawancara serta dokumentasi yang
terfokus.
Pada
analisis komponensial, yang dicari untuk diorganisasikan dalam domain bukanlah
keserupaan dalam domain, tetapi justru yang memiliki perbedaan atau yang
kontras. Data ini dicari melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang
terseleksi. Dengan teknik pengumpulan data yang bersifat triangulasi tersebut,
sejumlah dimensi yang spesifik dan berbeda pada setiap elemen akan dapat
ditemukan. Sebagai contoh, dalam analisis taksonomi telah ditemukan berbagai
jenjang dan jenis pendidikan. Berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan
tersebut, selanjutnya dicari elemen yang spesifik dan kontras pada tujuan sekolah,
kurikulum, peserta didik, tenaga kependidikan dan sistem manajemennya.
d.
Analisis Tema Budaya
Analisis
tema atau discovering cultural themes sesungguhnya merupakan upaya
mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domain yang ada (Faisal,
1990). Dengan ditemukan benang merah dari hasil analisis domain, taksonomi, dan
komponen tersebut, selanjutnya akan dapat tersusun suatu “konstruksi bangunan”
situasi sosial/objek penelitian yang sebelumnya masih gelap atau remang-remang,
dan setelah dilakukan penelitian, menjadi lebih terang dan jelas.
Seperti
telah dikemukakan bahwa analisis data kualitatif pada dasarnya adalah ingin
memahami situasi sosial (objek penelitian dalam penelitian kuantitatif) menjadi
bagian-bagian, hubungan antarbagian, dan hubungannya dengan keseluruhan. Jadi,
ibaratnya seorang peneliti arkeologi menemukan batu-batu fondasi, tiang-tiang,
pintu, kerangka atap, genting dan akhirnya dapat dikonstruksikan menjadi rumah
jenis tertentu sehingga rumah tersebut dapat diberi nama. Jadi, inti dan
analisis tema kultural itu adalah bagaimana peneliti mampu mengkontruksi barang
yang berserakan menjadi rumah, dan rumah itu jenis rumah apa. Misalnya, rumah
itu adalah rumah pedagang lembu. Jadi tema, budayanya adalah Rumah Pedagang
Lembu”
Dalam
penelitian kualitatif yang baik, justru judul laporan penelitian tidak sama
dengan judul dalam proposal. Hal ini berarti peneliti mampu melepaskan diri
tentang apa yang dipikirkan sebelum penelitian, dan mampu melihat gejala dalam
situasi sosial/objek penelitian yang alamiah, lebih mampu memperhatikan kondisi
yang sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpengaruh oleh pola pikir sebelum
peneliti ke lapangan. Dengan menemukan judul baru dalam laporan penelitian,
berarti peneliti telah melakukan analisis tema, dan temanya diwujudkan dalam
judul penelitian.
Teknik
analisis data yang diberikan oleh Miles and Huberman dan Spradley saling
melengkapi. Dalam setiap tahapan penelitian Miles and Huberman menggunakan
langkah-langkah reduksi data, data display , dan Verifikasi. Ketiga langkah
tersebut dapat dilakukan pada semua tahap dalam proses penelitian kualitatif,
yaitu tahap deskripsi, fokus, dan seleksi.
2.1.6.4
Sistematika Proposal Penelitian Kualitatif
I.
PENDAHULUAN
Pendahuluan ini berisi latar belakang
masalah, fokus penelitian dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
1.1
Latar Belakang Masalah
Walaupun
dalam penelitian kualitatif, masalah ini bersifat sementara, masalah perlu
dikemukakan dalam proposal penelitian. Masalah merupakan kesenjangan antara
yang diharapkan dengan yang terjadi, kesenjangan antara teori dengan praktik, kesenjangan
antara aturan dan pelaksanaan, kesenjangan antara tujuan dengan hasil yang
dicapai, dan kesenjangan antara pengalaman masa lampau dengan yang terjadi.
Setiap masalah pasti ada yang melatarbelakangi. Mobil diparkir di tengah jalan
akan menjadi masalah karena jalan dipakai untuk lalu lintas, tetapi apabila
jalan tersebut sudah merupakan jalan yang mati/tidak dipakai, tentu tidak akan
menjadi masalah. Kualitas pelayanan yang rendah akan menjadi masalah karena
pemerintah bertugas melayani masyarakat. Mobil mogok menjadi masalah karena
mobil direncanakan untuk bepergian. Sewaktu mengikuti kuliah tertidur, menjadi
masalah karena yang diharapkan sewaktu kuliah tidak tidur. Sebaliknya, tidak
bisa tidur akan menjadi masalah kalau sudah waktunya direncanakan untuk tidur.
Dalam
latar belakang masalah ini perlu dikemukakan gambaran keadaan yang sedang
terjadi selanjutnya dikaitkan dengan peraturan kebijakan, perencanaan, tujuan,
teori, pengalaman, sehingga terlihat adanya kesenjangan yang merupakan masalah.
Masalah ini perlu dikemukakan dalam bentuk data, misalnya kegagalan
transinigrasi menjadi masalah, maka perlu ditunjukkan berapa orang yang gagal
dan tahun ke tahun. Kualitas pelayanan yang rendah menjadi masalah, maka perlu
ditunjukkan perilaku yang tidak simpatik yang melayani, dan keluhan atau
pengaduan dan pihak yang dilayani.
Masalah
yang dikemukakan dalam bentuk data dapat diperoleh dari studi pendahuluan,
dokumentasi laporan penelitian, atau pemyataan orang-orang yang dianggap
kredibel dalam media baik media cetak atau elektronik. Penelitian juga tidak
harus berangkat dari masalah, tetapi dari potensi. Potensi tersebut dapat
bekembang menjadi masalah karena potensi tersebut tidak dapat didayagunakan.
Sebagai contoh, pada tempat tertentu terdapat sumber minyak, tetapi karena kita
tidak dapat mengekploitasinya, sumber minyak itu bisa menjadi masalah.
Setelah
masalah yang dikemukakan belum dapat diatasi, dan mungkin ada potensi yang
belum dapat didayagunakan, perlu dilakukan penelitian. Jadi, dalam latar
belakang masalah ini intinya berisi tentang jawaban atas pertanyaan mengapa
perlu dilakukan penelitian.
1.2
Fokus Penelitian
Kalau
dalam penelitian kuantitatif, fokus penelitian ini merupakan batasan masalah.
Karena adanya keterbatasan, baik tenaga, dana, maupun waktu, dan supaya hasil
penelitian lebih terfokus. Peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap
keseluruhan yang ada pada objek atau situasi sosial tertentu, tetapi perlu
menentukan fokus. Dalam penelitian tentang pelayanan rumah sakit misalnya,
peneliti akan memfokuskan pada prosedur pelayanan, kualitas pelayanan yang
diberikan oleh dokter, perawat, petugas makanan, keamanan dan lingkungan. Dalam
penelitian pendidikan, misalnya peneliti akan memfokuskkan pada interaksi guru
dan murid di kelas. Dalam penelitian tentang sumber daya manusia, peneliti
dapat memfokuskan pada sistem penggajian dan kinerja pegawai.
Pada
penelitian kualitatif penentuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan,
pengalaman, referensi, dan disarankan oleh pembimbing atau orang yang dipandang
ahli. Fokus dalam penelitian ini juga masih bersifat sementara dan akan
berkembang setelah peneliti di lapangan.
1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan fokus penelitian tersebut, selanjutnya dibuat
rumusan masalahnya. Rumusan masalah merupakan pertanyaan penelitian yang
jawabannya dicarikan melalui penelitian. Rumusan masalah ini merupakan panduan
awal bagi peneliti untuk penjelajahan pada obyek yang diteliti. Namun, bila
rumusan masalah ini tidak sesuai dengan kondisi objek penelitian, peneliti
perlu mengganti rurnusan masalah penelitiannya.
Rumusan masalah dalam penelitian
kualitatif tidak berkenaan dengan variabel penelitian, yang bersifat spesifik,
tetapi lebih makro dan berkaitan dengan kemungkinan apa yang terjadi pada
objek/situasi sosial penelitian tersebut. Berikut ini contoh rumusan masalah
penelitian kualitatif, bidang manajemen.
1. Apakah pemahaman orang-orang
yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna manajemen? (masalah
deskriptif)
2.
Bagaimanakah iklim kerja atau suasana kerja pada organisasi tersebut?
(masalah deskriptif)
3. Bagaimanakah pola perencanaan
yang digunakan dalam organisasi itu, baik perencanaan strategis maupun
taktis/tahunan? (masalah deskriptif)
4. Bagaimanakah model penempatan
orang-orang untuk menduduki posisi dalam organisasi itu (masalah deskriptif)
5. Bagaimanakah model koordinasi,
kepemimpinan, dan supervisi yang dijalankan dalam organisasi itu? (masalah
asosiatif)
6. Bagaimanakah pola penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja organisasi itu? (masalah asosiatif)
7. Bagaimanakah pola pengawasan dan
pengendalian yang dilakukan dalam organisasi tersebut? (masalah deskriptif)
8. Apakah kinerja organisasi
tersebut berbeda dengan organisasi lain yang sejenis (masalah komparatif)
1.4
Tujuan Penelitian
Secara
umum tujuan penelitian adalah untuk menemukan, mengembangkan dan membuktikan
pengetahuan, sedangkan secara khusus tujuan penelitian kualitatif adalah untuk
menemukan. Menemukan berarti sebelumnya belum pemah ada atau belum diketahui.
Dengan metode kualitatif, peneliti dapat menemukan pemahaman terhadap situasi
sosial yang diteliti, hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan
menjadi teori.
Tujuan
penelitian dalam proposal penelitian kualitatif juga masih bersifat sementara,
dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Dalam proposal tujuan
penelitian terkait dengan rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui segala
sesuatu setelah rumusan masalah itu terjawab melalui pengumpulan data. Dengan
demikian, kalau rumusan masalahnya adalah “Bagaimanakah pemahaman orang-orang
yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna manajemen”, tujuan
penelitiannya adalah untuk mengetahui pemahaman orang-orang yang ada dalam
organisasi itu tentang arti dan makna manajemen.
1.5 Manfaat Penelitian
Setiap
penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa bersifat
teoretis, dan praktis. Untuk penelitian kualitatif, manfaat penelitian lebih
bersifat teoretis, yaitu untuk pengembangan ilmu, tetapi juga tidak menolak
manfaat praktisnya untuk memecahkan masalah. Bila peneliti kualitatif dapat
menemukan teori, teori tersebut akan berguna untuk menjelaskan, memprediksikan,
dan mengendalikan suatu gejala.
II.
STUDI KEPUSTAKAAN
Studi
kepustakaan berkaitan dengan kajian teoretis dan referensi lain yang terkait
dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang
diteliti. Terdapat tiga kriteria terhadap teori yang digunakan sebagai landasan
dalam penelitian, yaitu relevansi, kemutakhiran, dan keaslian. Relevansi
berarti teori yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Kalau
yang diteliti masalah kepeinimpinan, teori yang dikemukakan berkenaan dengan
kepeinimpinan, bukan teori sikap atau motivasi. Kemutakhiran berarti terkait
dengan kebaruan teori alan referensi yang digunakan. Pada umumnya referensi
yang sudah lebih dan lima tahun diterbitkan dianggap kurang mutakhir.
Penggunaan jurnal atau internet sebagai referensi untuk mengemukakan landasan
teori lebih diutamakan. Keaslian terkait dengan keaslian sumber, maksudnya
supaya peneliti menggunakan sumber aslinya dalam mengernukakan teori. Jangan
sampai peneliti mengutip dan kutipan orang lain, dan sebaiknya dicari sumber
aslinya.
Berapa
teori yang dikemukakan dalam proposal akan sangat tergantung pada fokus penelitian
yang ditetapkan oleh peneliti. Makin banyak fokus penelitian yang ditetapkan,
akan semakin banyak teori yang perlu dikemukakan.
Dengan
dikemukakan landasan teori dan nilai-nilai budaya yang ada pada konteks sosial
yang diteliti, hal ini merupakan indikator bagi peneliti, apakah peneliti
memiliki wawasan yang luas atau tidak terhadap situasi sosial yang diteliti.
Validasi awal bagi peneliti kualitatif adalah seberapa jauh kemampuan peneliti
mendeskripsikan teori-teori yang terkait dengan bidang dan konteks sosial yang
diteliti.
Dalam
landasan teori perlu dikemukakan definisi setiap fokus yang akan diteliti,
ruang lingkup keluasan serta kedalamannya. Dalam definisi perlu dikemukakan
definisi-definisi yang sejalan atau yang tidak sejalan. Jadi, dikontraskan.
Dengan demikian, landasan teori yang dikemukakan semakin kuat.
Dalam
penelitian kualitatif, teori yang dikemukakan bersifat sementara, dan akan
berkembang atau berubah setelah peneliti berada di lapangan. Selanjutnya, dalam
landasan teori, tidak perlu dibuat kerangka berpikir sebagai dasar untuk
perumusan hipotesis karena dalam penelitian kualitatif tidak akan menguji
hipotesis, tetapi justru menemukan hipotesis.
III.
METODE PENELITIAN
Komponen
dalam metode penelitian kualitatif adalah alasan menggunakan metode kualitatif,
tempat penelitian, instrumen penelitian, sampel sumber data penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, dan rencana pengujian keabsahan data.
3.1
Alasan Menggunakan Metode Kualitatif
Dalam
hal ini perlu dikemukakan, mengapa metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif. Pada umumnya alasan menggunakan metode kualitatif karena
permasalahan belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga
tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode
penelitian kuantitatif dengan intrumen seperti tes, kuesioner, pedoman
wawancara. Selain itu peneliti bermaksud memahaini situasi sosial secara
mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori.
3.2
Tempat Penelitian
Dalam
hal ini perlu dikemukakan tempat situasi sosial tersebut akan diteliti,
misalnya di sekolah, di perusahaan, di lembaga pemerintah, di jalan, di rumah
dan lain-lain.
3.3
Instrumen Penelitian
Dalam
penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri atau
anggota tim peneliti. Untuk itu perlu dikemukakan siapa yang akan menjadi
instrumen penelitian, atau mungkin setelah permasalahannya dan fokus jelas
peneliti akan menggunakan instrumen. Instrumen yang akan digunakan perlu
dikemukakan pada bagian ini.
3.4
Sampel Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, sampel sumber
data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sampel
sumber data, pada proposal masih bersifat sementara, dan akan berkembang
kemudian setelah peneliti di lapangan. Sampel sumber data pada tahap awal
memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi
sosial atau objek yang diteliti sehingga mampu “membukakan pintu” kemana saja
peneliti akan melakukan pengumpulan data.
Faisal
(1990) dengan mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa situasi sosial
untuk sampel awal sangat disarankan suatu situasi sosial yang didalamnya
menjadi semacam muara dan banyak domain lainnya. Selanjutnya, dinyatakan bahwa
sampel sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya yang memenuhi
kriteria sebagai berikut.
1. Mereka yang menguasai atau
memahaini sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan
sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya.
2. Mereka yang tergolong masih
sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang.tengah diteliti.
3. Mereka yang mempunyai waktu yang
memadai untuk diinintai informasi.
4. Mereka yang tidak cenderung
menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
5. Mereka yang pada mulanya
tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga Iebih menggairahkan untuk
dijadikan sernacam guru atau narasumber.
Siapa yang dijadikan sampel sumber data,
dan berapa jumlahnya dapat diketahui setelah penelitian selesai. Jadi, tidak
dapat disiapkan sejak awal atau dalam proposal.
3.5
Teknik Pengumpulan Data
Pada
bagian ini dikemukakan bahwa, dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan
data yang utama adalah observasi participant, wawancara mendalam studi
dokumentasi, dan gabungan ketiganya atau trianggulasi. Perlu dikemukakan kalau
teknik pengumpulan datanya dengan observasi, perlu dikemukakan apa yang
diobservasi, kalau wawancara, kepada siapa akan melakukan wawancara.
3.6
Teknik Analisis Data
Dalam
penelitian kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan
dengan pengumpulan data. Tahapan dalam penelitian kualitatif adalah tahap
memasuki lapangan dengan grand tour dan ininitour question, analisis datanya
dengan analisis domain. Tahap kedua adalah menentukan fokus, teknik pengumpulan
data dengan minitour question, analisis data dilakukan dengan analisis
taksonomi. Selanjutnya pada tahap selection, pertanyaan yang digunakan
adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensial.
Setelah analisis komponensial, dilanjutkan analisis tema.
Jadi,
analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman dilakukan secara interaktif
melalui proses data reduction, data display, dan verification.
Sedangkan menurut Spradley dilakukan secara berurutan, melalui proses analisis
domain, taksonomi, komponensial, dan tema budaya.
3.7
Rencana Pengujian Keabsahan Data
Dalam
proposal perlu dikemukakan rencana uji keabsahan data yang akan dilakukan. Uji
keabsahan data meliputi uji kredibilitas data (validitas internal), uji
depenabilitas (reliabilitas) data, uji transferabilitas (validitas
eksternal/generalisasi), dan uji komfirmabilitas (objektivitas). Namun, yang
utama adalah uji kredibilitas data. Uji kredibilitas dilakukan dengan
perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan
teman sejawat, member check, dan analisis kasus negatif.
2.2 Penelitian Kuantitatif
Bagaimanakah penggunaan
penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif dalam suatu penelitian? Untuk mengetahui frekuensi distribusi atau
korelasi yang relevan dipilih pendekatan kuantitatif, sedangkan untuk aspek
masalah sosial tertentu sering sekali metode kualitatif lebih serasi.
Berdasarkan pemikiran tersebut,
para peneliti pemula dalam penelitian kualitatif sangat perlu memiliki
pemahaman dan studi banding antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Perbandingan antara kedua pendekatan tersebut telah dipaparkan oleh beberapa
ahli, di antaranya seperti berikut ini.
BAGIAN III
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(ACTION RESEARCH)
3.1 Hakikat Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research)
Dewasa ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
sebagai bagian dari penelitian tindakan (action research) yang bertujuan
memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas, semakin banyak diminati. Banyak
tenaga pendidik melakukan PTK dalam upaya mereka mengembangkan profesinya. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang PTK semaikin dibutuhkan. Di sisi lain, masih
banyak guru yang membuat KTI menyebut tulisannya sebagai PTK, tetapi sebenarnya
belum atau bahkan bukan PTK (Arikunto, 2006:vii).
Kiranya kita sependapat bahwa
tenaga pendidik (seperti guru, widyaswara, dosen, dan lain-lain) memegang peran
penting dalam upaya mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, kita mendukung
berbagai kegiatan yang bertujuan meningkatkan mutu, penghargaan, dan
kesejahteraannya yang telah dan akan terus dilakukan. Harapannya, mereka akan
lebih mampu bekerja sebagai tenaga profesional dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai tenaga pendidik. Sebagai contoh, adanya Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang
Penetapan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/ P/1993, Nomor 25
tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan
profesionalisme guru.
Pada aturan tersebut, di antaranya dinyatakan
bahwa untuk keperluan kenaikan pangkat/jabatan Guru Pembina/Golongan IVa ke
atas, diwajibkan adanya angka kredit yang harus diperoleh dari Kegiatan
Pengembangan Profesi. Melalui sistem angka kredit tersebut, diharapkan dapat
diberikan penghargaan secara lebih adil dan lebih profesional terhadap pangkat
guru yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan tingkat
kesejahteraannya.
Saat ini kegiatan penelitian
yang makin banyak dilakukan oleh para guru adalah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Oleh karena itulah, informasi tentang apa, mengapa, dan bagaimana
melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mudah dipahami menjadi semakin
penting dan diperlukan, khususnya bagi mereka yang berminat untuk melaksanakan
PTK (Suharjono dkk., 2006:44).
Apa
itu Penelitian Tindakan Kelas (PTK)? Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Classroom Action Research (CAR),
yaitu sebuah penelitian yang dilakukan di kelas. Lebih lanjut konsep Penelitian,
Tindakan, dan Kelas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Penelitian menunjuk pada suatu kegiatan
mencermati suatu objek dengan meng-
gunakan
cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau infor-
masi
yang bermanfaat dalam meningkatkan suatu hal yang menarik minat dan pen-
ting
bagi peneliti. Penelitian dapat juga dipahami sebagai penyelidikan suatu
masalah
secara sistematis, kritis, ilmiah, dan lebih formal. Penelitian merupakan
kegiatan
yang dilakukan dengan menggunakan logika proses berpikir eksplisit dan
informasinya dikumpulkan secara objektif dan sistematis.
2) Tindakan menunjuk pada suatu gerak
kegiatan yang sengaja dilakukan dengan
tujuan
tertentu. Dalam penelitian, tindakan dimaksud berbentuk rangkaian siklus
kegiatan untuk siswa.
3) Kelas,
dalam hal ini tidak terikat pada ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang
lebih
spesifik. Kelas adalah sekelompok peserta didik yang sedang belajar.
Menurut
pengertian lama, kelas adalah sebuah ruangan tempat guru mengajar dan siswa
yang sedang belajar. Menurut pengertian lama tersebut, istilah kelas mengarah
pada sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama
dari guru yang sama pula. Konsep kelas yang demikian untuk kondisi dan situasi
sekarang cenderung keliru.
Dalam
konteks pembelajaran dewasa ini, kelas bukan wujud ruangan, melainkan berwujud
sekelompok peserta didik yang sedang belajar. Dengan demikian, PTK dapat
dilakukan tidak hanya di ruang kelas,
tetapi di mana saja tempatnya, yang penting ada sekelompok anak yang sedang
belajar. Peristiwanya dapat terjadi di laboratorium, di perpustakaan, di
lapangan olahraga, atau di tempat lain, yaitu tempat siswa belajar tentang hal
yang sama dari seorang guru atau fasilitator yang sama.
Berdasarkan
batasan pengertian tiga kata inti, yaitu penelitian, tindakan, dan kelas, dapat
disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar
berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas
secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari
guru yang dilakukan oleh siswa. PTK merupakan salah satu upaya guru dalam
meningkatkan dan mengembangkan kualitas pembelajaran (Depdiknas Dirjen PMPTK:
2007: 17). PTK pada hakikatnya merupakan rangkaian ”riset-tindakan-riset-tindakan
yang dilakukan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah
itu terpecahkan.
PTK
dapat juga diartikan sebagai penelitian tindakan (action research) yang
dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. PTK
berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas,
dan bukan pada input kelas (silabus, materi, dll.) ataupun output (hasil
belajar). PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas
(Depdiknas Dirjen PMPTK 2007).
3.2 Konsep ”Kelas” dalam PTK
Kembali
kepada konsep ”kelas” dalam PTK. Komponen dalam sebuah kelas yang dapat dikaji
melalui penelitian tindakan adalah sebagai berikut.
1) Siswa, dapat dicermati objeknya ketika siswa yang
bersangkutan sedang asyik
mengikuti proses pembelajaran di kelas/lapangan/laboratorium atau
bengkel, dan
ketika
siswa sedang asyik mengerjakan pekerjaan rumah di malam hari, atau ketika
mereka
sedang mengikuti kerja bakti di luar sekolah.
2) Guru, dapat dicermati ketika yang
bersangkutan sedang mengajar di kelas, sedang
membimbing siswa-siswa yang sedang berdarmawisata, atau ketika guru
sedang
mengadakan kunjungan ke rumah siswa.
3) Materi pelajaran, dapat dicermati ketika guru sedang
mengajar atau sebagai
bahan yang ditugaskan kepada siswa.
4) Peralatan atau sarana pendidikan, dapat dicermati
ketika guru sedang mengajar
dengan
tujuan meningkatkan mutu hasil belajar, yang diamati dapat guru, siswa,
atau
keduanya.
5) Lingkungan, baik lingkungan siswa di kelas, sekolah,
maupun yang melingkungi
siswa di
rumahnya. Pada penelitian tindakan, bentuk tindakan yang dilakukan
adalah
mengubah kondisi lingkungan menjadi lebih kondusif.
6) Pengelolaan, merupakan kegiatan yang sedang diterapkan dan dapat
direkayasa
dalam
bentuk tindakan. Yang digolongkan sebagai kegiatan pengelolaan,
misalnya, cara mengelompokkan siswa ketika guru memberikan tugas,
pengaturan
urutan
jadwal, pengaturan tempat duduk siswa, penempatan papan tulis, penataan
peralatan milik siswa, dan sebagainya.
Permasalahan
yang dapat dikaji sehubungan dengan makna ”kelas” dalam PTK cukup luas, di
antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut.
(1) Masalah belajar siswa di sekolah, misalnya
permasalahan belajar di kelas, kesalahan pembelajaran, miskonsepsi,
misstrategi, dan lain- lain.
(2) Pengembangan profesionalisme guru dalam
peningkatan mutu perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi program pengajaran.
(3) Pengelolaan dan pengendalian, misalnya
pengenalan teknik modifikasi perilaku, teknik memotivasi, dan teknik
pengembangan potensi diri.
(4) Desain dan strategi pembelajaran di kelas,
misalnya masalah pengelolaan dan prosedur pembelajaran, implementasi dan
inovasi dalam metode pembelajaran (misalnya penggantian metode mengajar
tradisional dengan metode mengajar baru), interaksi di dalam kelas (misalnya
penggunaan strategi pengajaran yang didasarkan pada pendekatan terpadu).
(5) Penanaman dan pengembangan sikap serta
nilai-nilai, misalnya pengembangan pola berpikir ilmiah dalam din siswa.
(6) Alat bantu, media, dan sumber belajar,
misalnya masalah penggunaan media, perpustakaan, dan sumber belajar di
dalam/luar kelas.
(7) Sistem asesmen dan evaluasi proses dan
hasil pembelajaran, misalnya masalah evaluasi awal dan hasil pembelajaran,
pengembangan instrumen asesmen berbasis kompetensi, atau penggunaan alat,
metode evaluasi tertentu.
(8) Masalah kurikulum, misalnya implementasi
KBK; urutan penyajian materi pokok; interaksi guru-siswa, siswa-materi ajar,
dan siswa-lingkungan belajar.
3.3
PTK dan Penelitian Model Lain
PTK
termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja
bersifat kuantitatif. PTK berbeda dengan penelitian formal. Penelitian formal
bertujuan menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general).
PTK lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual, dan
hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun, hasil PTK dapat saja diterapkan
oleh orang lain yang mempunyai konteks yang mirip dengan peneliti (dalam
Pelangi Pendidikan, 2001:14).
Perbedaan
PTK dan penelitian formal dapat dikemukakan sebagai berikut.
Penelitian Formal
|
PTK
|
1) Dilakukan oleh orang luar
|
1) Dilakukan oleh guru atau dosen
|
2) Sampel harus representatif
|
2) Kerepresentatifan sampel tidak diper-
hatikan
|
3) Instrumen harus valid dan reliabel
|
3) Instrumen yang valid dan
reliabel ti-
dak diperhatikan
|
4) Menuntut penggunaan analisis statistik
|
4) Tidak menggunakan analisis statistik
yang rumit
|
5) Mempersyaratkan hipotesis
|
5) Tidak selalu menggunakan
hipotesis
|
6) Mengembangkan teori
|
6) Memperbaiki praktik pembelajaran
secara langsung
|
7) Tidak memperbaiki praktik pembel-
ajaran secara langsung
|
7) Hasil penelitian merupakan produk
ilmu terutama prosesnya
|
8) Hasil penelitian merupakan produk
Ilmu
|
Secara lebih spesifik, PTK
dibandingkan dengan penelitian deskriptif atau eksperimen dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1)
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data
ten- tang fenomena yang diteliti,
misalnya kondisi sesuatu atau kejadian, disertai dengan informasi tentang faktor penyebab sehingga
mungkin muncul kejadian yang dideskripsikan secara rinci, urut, dan jujur.
2)
Penelitian eksperimen dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data
ten- tang akibat dari adanya suatu treatment
atau perlakuan. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetes suatu hipotesis
yang dilandasi dengan asumsi yang kuat akan adanya hubungan sebab-akibat antara
dua variabel. Setelah diketahui misalnya model pembelajaran mana yang lebih
baik memberikan hasil, peneliti diharapkan mempunyai niat untuk melanjutkan
hasil tersebut dengan penelitian yang lebih intensif dalam bentuk penelitian
tindakan (Arikunto, 2006:26).
Jika
dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang disebutkan tersebut, penelitian
tindakan tidak lagi mengetes sebuah perlakuan, tetapi sudah memiliki kemantapan
akan ampuhnya suatu perlakuan. Lebih lanjut, dalam PTK peneliti langsung
menerapkan perlakuan tersebut dengan hati-hati sambil mengikuti setiap langkah
dari proses serta dampak perlakuan dimaksud. Dengan demikian, PTK dapat
dipandang sebagai tindak lanjut dari penelitian deskriptif maupun eksperimen.
Perbedaan yang nyata adalah bahwa PTK tidak mengenal populasi dan sampel karena
hasilnya tidak dimaksudkan untuk membuat sebuah generalisasi. Dengan kata lain,
hasil PTK hanya berlaku bagi kasus yang diteliti.
3.4 Ciri-ciri PTK
Ciri khusus PTK adalah adanya tindakan (action)
yang nyata. Tindakan itu dilakukan pada situasi alami (bukan laboratorium) dan
ditujukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis. Tindakan tersebut
merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu berbentuk
rangkaian siklus kegiatan.
Ciri-ciri lain PTK adalah
sebagai berikut.
1) PTK
merupakan kegiatan penelitian yang tidak saja berupaya untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus juga mencari
dukungan ilmiahnya. PTK merupakan bagian penting dari upaya pengembangan
profesional guru (tumbuhnya sikap profesional dalam diri guru) karena PTK
mampu membelajarkan guru untuk berpikir kritis dan sistematis, mampu
membelajarkan guru untuk menulis dan
membuat catatan.
2) Hal
yang dipermasalahkan bukan dihasilkan dari kajian teoretik atau dari hasil penelitian terdahulu, melainkan berasal
dari adanya permasalahan yang nyata dan aktual yang terjadi dalam pembelajaran di
kelas. Dengan kata lain, PTK berfokus pada masalah praktis bukan masalah teoretis
atau bersifat bebas konteks.
3) PTK hendaknya dimulai dari permasalahan
yang sederhana, nyata, jelas, dan tajam terhadap hal-hal yang terjadi di dalam
kelas.
4) Adanya
kolaborasi (kerjasama) antara praktisi (guru, kepala sekolah, siswa, dll.) dan peneliti dalam pemahaman, kesepakatan
tentang permasalahan, pengambilan keputusan yang akhirnya melahirkan
kesamaan tindakan (action).
5) Di
samping itu, PTK dilakukan hanya bila ada (1) keputusan kelompok dan komitmen untuk pengembangan, (2) bertujuan
meningkatkan profesionalisme guru, (3) alasan pokok: ingin tahu, ingin membantu,
ingin meningkatkan, dan (4) bertujuan memperoleh pengetahuan dan atau sebagai
pemecahan masalah.
Sesuai dengan prinsip bahwa ada
tindakan yang dirancang sebelumnya, objek PTK harus merupakan sesuatu yang
aktif dan dapat dikenai aktivitas. Di samping itu, karena menggunakan kegiatan
nyata di kelas, PTK menuntut etika, antara lain: (a) tidak boleh mengganggu
tugas proses pembelajaran dan tugas mengajar guru, (b) jangan terlalu menyita
banyak waktu (dalam pengambilan data, dll.),
(c) masalah yang dikaji harus merupakan masalah yang benar-benar ada dan
dihadapi oleh guru, (d) dilaksanakan dengan selalu memegang etika kerja
(mendapat izin, membuat laporan, dll.).
3.5 Tujuan dan Luaran PTK
Tujuan utama PTK adalah untuk
memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian
ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari
jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang
dilakukan. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata guru dalam
pengembangan profesionalnya. Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki
berbagai persoalan nyata dan praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di
kelas yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dan siswa yang sedang
belajar.
Secara lebih rinci, tujuan PTK
antara lain sebagai berikut.
1) Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, serta
hasil pendidikan dan pembelajaran
di
sekolah.
2) Membantu
guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan
pendidikan di dalam dan luar kelas.
3) Meningkatkan sikap profesional pendidik dan
tenaga kependidikan.
4) Menumbuhkembangkan budaya akademik di
lingkungan sekolah sehingga tercipta
sikap
proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran
secara
berkelanjutan (sustainable).
Selanjutnya, luaran yang
diharapkan dapat dihasilkan dan PTK adalah peningkatan atau perbaikan mutu
proses dan hasil pembelajaran, antara lain meliputi hal-hal berikut.
1) Peningkatan atau perbaikan terhadap kinerja
belajar siswa di sekolah.
2) Peningkatan atau perbaikan terhadap mutu proses
pembelajaran di kelas.
3)
Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas penggunaan media, alat bantu
belajar dan sumber belajar lainnya.
4)
Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas prosedur dan alat evaluasi yang
digu nakan untuk mengukur proses dan
hasil belajar siswa.
5) Peningkatan atau perbaikan terhadap masalah
pendidikan anak di sekolah.
6) Peningkatan dan perbaikan terhadap kualitas
penerapan kurikulurn dan pengem-
bangan
kompetensi siswa di sekolah (Suharjono, 2006).
3.6 Gambaran Model PTK
Ada beberapa ahli yang
mengemukakan model penelitian tindakan dengan bagan yang berbeda. Namun, secara
garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan,
(2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi.
Tahap 1: Menyusun rancangan tindakan (planning)
Dalam tahap ini peneliti
menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan
bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal
sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan
dari pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Istilah untuk cara ini
adalah penelitian kolaborasi. Cara ini dikatakan ideal karena adanya upaya
untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang
dilakukan. Dengan mudah dapat diterima bahwa pengamatan yang diarahkan pada
diri sendiri biasanya kurang teliti dibandingkan dengan pengamatan yang
dilakukan terhadap hal-hal yang berada di luar diri karena adanya unsur
subjektivitas yang berpengaruh, yaitu cenderung mengunggulkan dirinya. Apabila
pengamatan dilakukan oleh orang lain, pengamatannya cenderunglebih cermat dan
hasilnya diyakini akan lebih objektif.
Penelitian kolaborasi ini
sangat disarankan kepada para guru yang belum pernah atau masih jarang
melakukan penelitian. Meskipun dilakukan bersama, karena kelasnya berbeda, dan
tentu saja peristiwanya berbeda, hasilnya pasti berbeda. Jika hasilnya
dilaporkan sebagai karya tulis ilmiah bentuk laporan penelitian, masing-masing
peneliti akan mendapat nilai sama, yaitu 4,0. Dalam hal ini guru tidak perlu
ragu, takut nilainya dibagi 2 seperti kalau menulis bersama atau melakukan
penelitian kelompok. Dalam penelitian tindakan, masing-masing berdiri sebagai
peneliti meskipun ketika menyusun rencana dilakukan bersama-sama. Dengan
demikian, penelitian tindakan yang baik adalah apabila dapat diusahakan sebagai
berikut.
Pada tahap perencanaan atau penyusunan rancangan, peneliti
menentukan fokus peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk
diamati, kemudian membuat sebuah instrumen pengamatan untuk merekam fakta yang
terjadi selama tindakan berlangsung. Secara rinci, tahapan perencanaan terdiri
dari kegiatan sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi dan menganalisis masalah.
Masalah tersebut harus benar-benar
faktual
terjadi di lapangan, masalah bersifat umum di kelasnya, masalahnya cukup
penting
dan bermanfaat bagi peningkatan mutu hasil pembelajaran, dan masalah
pun
harus dalam jangkauan kemampuan peneliti.
b. Menetapkan alasan mengapa penelitian tersebut
dilakukan, yang akan melatar-
belakangi PTK.
c.
Merumuskan masalah secara jelas, baik dengan kalimat pertanyaan maupun kalimat pernyataan.
d.
Menetapkan cara yang akan dilakukan untuk menemukan jawaban, berupa rumusan hipotesis
tindakan. Umumnya dimulai dengan menetapkan berbagai alternatif tindakan
pemecahan masalah, kemudian dipilih tindakan yang paling menjanjikan hasil
terbaik dan yang dapat dilakukan guru.
e. Menentukan cara untuk menguji hipotesis
tindakan dengan menjabarkan indikator-
indikator
keberhasilan serta berbagai instrumen pengumpul data yang dapat dipakai
untuk
menganalisis indikator keberhasilan itu.
f. Membuat secara rinci rancangan tindakan.
Tahap 2: Pelaksanaan Tindakan (Acting)
Tahap ke-2 dalam penelitian
tindakan adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi atau penerapan
isi rancangan, yaitu mengenakan tindakan di kelas. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa dalam tahap ke-2 ini peneliti harus ingat dan berusaha menaati apa
yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar, tidak
dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan perencanaan
perlu diperhatikan secara saksama agar sinkron dengan maksud semula.
Pada PTK yang dilakukan oleh
guru, pelaksanaan tindakan ini umumnya dilakukan dalam waktu antara 2 sampai 3
bulan. Waktu tersebut dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan beberapa topik mata
pelajaran tertentu.
Dalam laporan penelitian
antara rancangan/rencana yang telah disusun harus sinkron dengan pelaksanaan
tindakan. Yang sering terjadi, ketika mengajukan laporan penelitiannya,
peneliti tidak melaporkan seperti apa perencanaan yang dibuat karena langsung
melaporkan pelaksanaan. Oleh karena itu, bentuk dan isi laporannya harus sudah
lengkap menggambarkan semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari persiapan
sampai penyelesaian. Banyak di antara karya tulis yang diajukan oleh guru tidak
dapat dinilai atau diterima oleh tim penilai karena isi laporannya tidak
lengkap. Pada umumnya penulis merasa sudah menjelaskan tahapan metode yang
dilaksanakan dalam tindakan, padahal baru disinggung dalam kajian pustaka saja,
dan belum dijelaskan secara rinci bagaimana keterlaksanaannya ketika tindakan
terjadi.
Tahap 3: Pengamatan (Observing)
Tahapan ini, sebenarnya berjalan bersamaan
dengan tahap pelaksanaan. Pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang
berjalan. Jadi, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama.
Pada
tahap ini, peneliti melakukan pengamatan dan mencatat semua hal yang diperlukan
dan semua hal yang terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan format observasi/format penilaian yang telah
dipersiapkan. Termasuk juga pengamatan secara cermat pelaksanaan skenario
tindakan dari waktu ke waktu dan dampaknya terhadap proses dan hasil belajar
siswa.
Data
yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif (hasil tes, presentasi, ataupun
nilai tugas). Dapat juga berupa data kualitatif yang menggambarkan keaktifan
siswa, antusiasme mereka, mutu diskusi yang berlangsung, dan lain-lain yang
teramati di kelas.
Tahap 4: Refleksi (Reflecting)
Jika penelitian tindakan
dilakukan melalui beberapa siklus, dalam refleksi terakhir, peneliti
menyampaikan rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila dia
menghentikan kegiatannya, atau kepada diri sendiri apabila akan melanjutkan
penelitian dalam kesempatan lain. Catatan-catatan penting yang dibuat sebaiknya
rinci sehingga siapa pun yang akan melaksanakan penelitian lanjutan tidak akan
menjumpai kesulitan.
Berdasarkan uraian tersebut,
lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa ada empat tahapan penting dalam penelitian
tindakan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4)
refleksi. Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk
membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, yang kembali ke
langkah semula. Jadi, satu siklus adalah dari tahap penyusunan rancangan sampai
dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan
“bentuk tindakan” sebagaimana disebutkan dalam uraian ini, yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah
siklus tersebut. Jadi, bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan
kegiatan tunggal, tetapi selalu harus berupa rangkaian kegiatan yang akan
kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus. Sebagai contoh, tindakan untuk
mengajarkan topik “Peta Pulau Jawa” itu sudah tertentu materinya, jadi hanya
berlangsung satu kali putaran. Lain lagi jika topiknya “Membaca Peta”,
kegiatannya dapat berlangsung berkali-kali karena yang akan diajarkan ada
beberapa sehingga dapat merupakan siklus berkesinambungan.
Dalam hal ini sering timbul
pertanyaan adalah berapa lama satu siklus itu berlangsung, dan berapa kali pertemuankah
peneliti diizinkan mengadakan refleksi agar terjadi satu kali siklus. Jawaban
yang menunjukkan waktu kiranya kurang tepat diberikan karena jangka waktu
pelaksanaan pembelajaran sifatnya relatif. Jangka waktu untuk satu siklus
bergantung kepada materi yang dilaksanakan dengan cara tertentu. Mungkin materi
yang diajarkan hanya satu pokok bahasan, tetapi cukup luas sehingga memerlukan
waktu beberapa kali pertemuan. Refleksi dapat dilakukan apabila peneliti merasa
sudah mantap mendapat pengalaman, dalam arti sudah memperoleh informasi yang
perlu untuk memperbaiki cara yang telah dicoba. Mungkin saja peneliti
menentukan untuk mengadakan pertemuan tiga sampai lima kali sehingga siswa
sudah dapat merasakan proses dan hasilnya. Demikian pula pengamat sudah
memperoleh informasi yang dirasakan cukup dan mantap sebagai masukan yang
berarti sebagai untuk mengadakan perbaikan bagi siklus berikutnya.
Apabila sudah diketahui letak
keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang baru selesai dilaksanakan dalam
satu siklus, guru pelaksana (bersama peneliti pengamat) menentukan rancangan
untuk siklus kedua. Apakah guru tersebut akan mengulangi kesuksesan untuk
meyakinkan atau menguatkan hasil, atau akan memperbaiki langkah terhadap
hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus pertama? Hasil keputusan
tersebut dijadikan rancangan untuk tindakan siklus kedua. Setelah menyusun
rancangan untuk siklus kedua, guru dapat melanjutkan ke tahap 2, 3, dan 4,
seperti yang terjadi dalam siklus pertama. Jika sudah selesai dengan siklus
kedua dan guru belum merasa puas, guru dapat melanjutkan ke siklus ketiga, yang
cara dan tahapannya sama dengan siklus sebelumnya.
Selanjutnya, jika guru masih
belum puas dengan hasil siklus tersebut dan masih ingin melanjutkan pada siklus
ke-4 akan sangat dihargai. Namun,
apabila mau berhenti, juga sudah memadai karena sudah lebih dari dua
siklus. Hal penting yang harus mendapatkan perhatian bagi peneliti karena
menjadi fokus penilaian adalah bahwa perencanaan siklus lanjutan harus
didasarkan kepada hasil refleksi siklus sebelumnya.
Bagi peneliti pemula, sangat
disarankan untuk melakukan penelitian kolaborasi, yaitu penelitian yang
dilakukan bersama-sama atau berpasangan. Jika guru menginginkan model seperti
ini, guru dapat menentukan (1) teman yang sama mata pelajaran, tetapi berbeda
kelas; (2) teman satu sekolah berbeda kelas, tetapi mata pelajarannya mirip;
(3) teman mana saja asal saling memahami metode satu dan lainnya.
3.7
Konsep Siklus pada Kegiatan PTK
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya PTK terdiri atas rangkaian empat kegiatan yang dilákukan dalam
siklus berulang. Empat kegiatan utama yang ada pada setiap siklus, yaitu (a)
perencanaan, (b) tindakan, (c) pengamatan, dan (d) refleksi yang dapat
digambarkan sebagai berikut.
Pelaksanaan PTK dimulai dengan
siklus pertama yang terdiri dan empat kegiatan. Apabila sudah diketahui letak
keberhasilan dan hambatan dan tindakan yang dilaksanakan pada siklus pertama
tersebut, guru (bersama peneliti, apabila PTK-nya tidak dilakukan sendiri oleh
guru) menentukan rancangan untuk siklus kedua.
Kegiatan pada siklus kedua
dapat berupa kegiatan yang sama dengan kegiatan sebelumnya apabila ditujukan
untuk mengulangi kesuksesan atau untuk meyakinkan/menguatkan hasil. Akan
tetapi, umumnya kegiatan yang dilakukan pada siklus kedua mempunyai berbagai
tambahan perbaikan dan tindakan terdahulu yang tentu saja ditujukan untuk
memperbaiki berbagai hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus
pertama.
Dengan menyusun rancangan
untuk siklus kedua, guru dapat melanjutkan dengan tahap-tahap kegiatan seperti
pada siklus pertama. Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan guru belum
merasa puas, guru dapat melanjutkan dengan siklus ketiga, yang cara dan
tahapannya sama dengan siklus sebelumnya. Tidak ada ketentuan tentang berapa
kali siklus harus dilakukan. Banyaknya siklus tergantung dari kepuasan peneliti
sendiri, namun ada saran, sebaiknya tidak kurang dari dua siklus.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi dkk. 2006.
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
AR, Syamsuddin dan Damaianti, Vismaia S.
2006. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung; PT. Rosda Karya.
Depdiknas Dirjen PMPTK.
2007. Menyusun Usulan Penelitian Tindakan Kelas TOT Block Grand PTK.
Jakarta: Depdiknas
Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah. 2001. “Pedoman Teknis Pelaksanaan Classroom Action Research (CAR)”
dalam Pelangi Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Tahun 2004.
Gay, L. R. 1983.
Educational Research Competencies for Analysis & Application.
Ohio: A Bell & Howell Company.
Kamil, M. L. 2000. Handbook
of Reading Research. London: LEA
.
Kepetusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 025/0/199
Suhardjono dkk. 2006. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Miles, Matthew B., Huberman, Michael A. 1984. Qualitative Data Analysis:
A Sour-
Ceebook
of New Methods. London:
Beverly Hill.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
LAMPIRAN 1.
CONTOH
PROPOSAL PTK
JUDUL PENELITIAN
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS SISWA KELAS V SD
MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS
MULTIPLE INTELEGENCES
(Teuku Alamsyah dan Muhammad Iqbal)
1. Latar
Belakang Masalah
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan.
Peran pendidikan sangat penting untuk
menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena
itu, pembaruan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional (Nurhadi dkk., 2004:1). Dalam
konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu
pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode
pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan
kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau
pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas yang lebih dapat memberdayakan
potensi siswa. Ketiga hal itulah yang saat ini menjadi fokus pembaruan pendidikan
di Indonesia. Berkenaan dengan penerapan
atau pemilihan strategi pembelajaran, sebagai seorang guru,
pertanyaan-pertanyaan berikut ini kiranya menarik untuk disimak (1) apakah Anda
mengenal dengan baik siswa Anda? (2) Apakah di kelas Anda ada siswa yang bisa
menciptakan seni visual yang indah? (3) Adakah yang mahir di bidang olahraga?
(4) Adakah yang mampu memainkan alat musik yang dapat menyentuh perasaan? (5)
Apakah Anda tergetar dengan ketelitian matematis siswa Anda? (6) Adakah di
kelas Anda siswa yang paling cerdas dan siswa yang sangat tidak cerdas? (7)
Adakah siswa Anda yang suka membaca cerita, menulis puisi, dan mengembangkan
bakat mereka dalam menulis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang sulit untuk
terjawab karena setiap siswa memiliki keunikan, dan kecerdasan mereka
berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Setiap siswa memang unik dan secara
individual menawarkan kontribusi yang berharga bagi kebudayaan manusia
(Campbell, Campbell, dan Dickinson, 2006:1). Sebagai seorang guru, kita diharapkan
memiliki pengetahuan yang memadai tentang siswa di kelas kita. Dengan demikian,
tugas seorang gurulah mengarahkan siswa ke arah perkembangan yang optimal.
Gardner (1983) sebagai pencetus Theory of
Multiple Intelegence menyatakan bahwa kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang
dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan tempat
seseorang dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan
masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia. Gardner (dalam
Campbell, Campbell, dan Dickinson,
2006:2-3) mendeskripsikan tujuh kecerdasan manusia, yaitu: (1)
kecerdasan linguistik (linguistic intelegence), (2) kecerdasan
logika-matematika (logical-mathematical intelegence), (3) kecerdasan
spasial (spatial intelegence), (4) kecerdasan kinestetik-tubuh (bodly-kinesthetic
intelegence), (5) kecerdasan musik (musical intelegence), (6)
kecerdasan interpersonal (interpersonal intelegence), dan (7) kecerdasan
intrapersonal (intrapersonal intelegence).
Pemahaman seorang guru terhadap ketujuh jenis
kecerdasan ini sangatlah penting. Dengan pemahaman ini guru memiliki
pengetahuan yang memadai tentang karakteristik siswanya. Lebih lanjut tentunya
guru akan dapat memperlakukan siswanya sebagaimana seharusnya. Guru akan dapat
lebih mengarahkan setiap siswa sesuai dengan bakat kecerdasan yang dimilikinya.
Seorang siswa yang lemah dalam bidang matematika umpamanya, tidak akan selalu berarti bahwa
siswa yang bersangkutan juga lemah dalam bidang-bidang yang lain. Di sinilah
pentingnya seorang guru mengenal setiap siswanya dengan baik sehingga dapat
memberikan layanan pendidikan secara optimal.
Pengalaman Bruce Campbell berikut ini dapat
dijadikan teladan oleh para guru dalam pembelajaran. Bruce Campbell telah
menerapkan teori Gardner pada Sekolah Dasar tingkat III/IV/V, dan kelas
berbagai usia selama enam tahun. Model pembelajaran ini melibatkan tujuh pusat
pembelajaran, masing-masing melibatkan salah satu kecerdasan. Para siswa
menghabiskan sekitar dua pertiga hari sekolah mereka. Di pagi hari dimulai
dengan ceramah singkat dan diskusi tentang tema kelas yang baru. Para siswa
dibagi menjadi tujuh kelompok untuk memulai kegiatan mereka, dengan
menghabiskan sekitar 25 menit untuk setiap bidang kegiatannya. Hari yang ketiga
yang terakhir, mereka mengerjakan proyek mandiri atas pilihan mereka dan
membagi pekerjaan mereka dengan teman sekelas.
Sekali lagi, penerapan ide-ide Gardner terhadap
siswa-siswa Bruce tidak hanya menghasilkan skor tes yang lebih tinggi, tetapi
juga peningkatan area yang lain di dalam kehidupan anak-anak. Selama setahun,
Bruce melaksanakan proyek penelitian (Action Research Project) dan
bebagai upaya model kurikuler ini telah didokumentasikan: para siswa menemukan
area kekuatan mereka yang berbeda dan dapat menerapkan bermacam kecerdasan
dalam kegiatan kelas. Permasalahan perilaku menjadi berkurang, konsep diri
menjadi meningkat, keterampilan bekerja sama dan kepemimpinan menjadi
berkembang, dan yang terpenting kecintaan anak-anak untuk belajar menjadi
bertambah.
Pengalaman Bruce tersebut akan diupayakan
diterapkan dalam penelitian ini dalam bentuk action research
berkolaborasi dengan guru kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh, tempat penelitian ini
akan dilaksanakan. Jenis multiple intelegence yang akan diterapkan
adalah kecerdasan linguistik dalam bentuk verbal-linguistik.
Penerapan strategi pembelajaran multiple intelegence yang berkenaan
dengan linguistic intelegence ini diharapkan dapat meningkatkan hasil
pembelajaran bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis pada siswa kelas V SDN
35 Kota Banda Aceh. Selain itu, dari hasil penelitian ini diharapkan juga dapat
terdata siswa-siswa yang memiliki bakat kecerdasan linguistik yang
selanjutnya dapat dibina dan diarahkan agar siswa yang bersangkutan dapat
mengembangkan bakatnya atau kecerdasannya secara maksimal. Dengan demikian,
pembelajaran yang berlangsung setiap hari di kelas bukanlah sebuah rutinitas,
melainkan sebuah tempat yang memberikan makna tersendiri bagi masa depan
peserta didik.
Dalam
konteks tersebut, peran guru tidak dapat diabaikan. Mampukah seorang guru
melihat dan mencermati hal-hal yang demikian? Diyakini semua guru memiliki
kemampuan itu dengan catatan: mengajar bukanlah penyelesaian sebuah tugas.
Dalam kata mengajar mestinya terkandung makna pembelajaran dan juga
pendidikan. Artinya, tugas guru adalah melaksanakan pembelajaran
sekaligus melakukan kegiatan mendidik.
Sehubungan
dengan profesi guru, menarik untuk disimak pernyataan (Djoyonegoro dalam
Mulyasa, 2006: 3) bahwa hanya 43% guru pada berbagai jenjang pendidikan yang
memenuhi kualifikasi sebagai guru yang profesional. Artinya, sebagian besar
guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak
profesional. Menyikapi pernyataan tersebut tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa pendidikan kita masih jauh dari harapan dan kebutuhan. Padahal dalam
kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh
positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan
berbagai aspek kepribadiannya.
Sejalan dengan hal
tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya sebagai kebijakan dalam
peningkatan kualitas pendidikan. Kebijakan dalam peningkatan kualitas
pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam
upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan di Sekolah Dasar, pemerintah telah
mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal sebagai Sistem Pembinaan
Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah
sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu
gugus (3 sampai dengan 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti
dan yang lainnya merupakan sekolah imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut
dilaksanakan dengan menggunakan prinsip whole school development, yang
memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Pembinaan dan pengembangan ditekankan
pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah.
Salah satu komponen yang
sangat menentukan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah komponen guru dengan
segala kinerjanya. Guru memegang peranan
penting dalam suatu proses pembelajaran termasuk dalam perencanaan maupun
pelaksanaan kurikulum (Syaodih dalam Mulyasa, 2006). Proses pembelajaran
sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru. Sebagai suatu sistem kegiatan,
proses pembelajaran melibatkan guru mulai dari pemilihan dan pengurutan materi
pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi
pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil
belajar. Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan
berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang memiliki kualitas kompetensi akademik dan
profesional yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan
diupayakan melalui peningkatan mutu guru. Selengkap apa pun prasarana dan
sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang memadai, prasarana dan
sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu
pendidikan di suatu sekolah.
Terdapat berbagai macam alternatif strategi
pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran untuk
meningkatkan mutu pembelajaran. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: aktive
learning, cooperative learning, problem solving, direct instruction, small
group work, problem based instruction, discovery, dan yang dapat dipandang
sebagai salah satu strategi pembelajaran mutakhir adalah strategi pembelajaran
yang ditawarkan oleh Gardner, yaitu multiple intelegence. Strategi
pembelajaran yang disebut terakhir inilah yang akan diterapkan dalam penelitian
ini khususnya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, aspek menulis,
pada siswa Sekolah Dasar.
2.
Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1) Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran
bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis yang diterapkan oleh guru kelas V
SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
2) Bagaimanakah gambaran awal kemampuan
menulis siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
3) Bagaimanakah proses pembelajaran menulis
dengan penerapan strategi multiple Intelegence: linguistic intelegence
pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
4) Bagaimanakah hasil pembelajaran menulis
dengan penerapan strategi multiple intelegence: linguistic intelegence
pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
5) Berapa persenkah siswa kelas V SD Negeri
35 Kota Banda Aceh yang memiliki bakat linguistic intelegence?
3. Tujuan
Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah tersebut,
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran
bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis
yang diterapkan oleh guru kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
2) Mendeskripsikan gambaran awal kemampuan
menulis siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
3) Menerapkan strategi multiple
Intelegence: linguistic intelegence dalam pembelajaran menulis pada siswa
kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
4) Mendeskripsikan hasil pembelajaran menulis
dengan penerapan strategi multiple intelegence: linguistic
intelegence pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
5) Mendapatkan data jumlah siswa kelas V SD
Negeri 35 Kota Banda Aceh yang memiliki bakat linguistic intelegence.
4. TINJAUAN
PUSTAKA
4.1
Konsep Multiple Intelegences
Multiple intelegences mengacu pada sebuah teori
kecerdasan yang dikembangkan pertengahan tahun 1980-an oleh Howard Gardner,
seorang profesor dalam bidang pendidikan di Universitas Harvard. Setiap orang
memiliki kesemua kecerdasan ini dengan proposi yang berbeda-beda.
Gardner pada
awalnya menemukan tujuh macam kecerdasan.
1) bahasa
2) logika/matematika
3) musik/irama
4) visual/ruang
5) fisik/gerak
6) hubungan antarmanusia
7) hubungan dengan diri sendiri
Guru yang menggunakan teori multiple intellegences
akan berusaha keras untuk menyajikan pelajaran dengan berbagai macam cara,
seperti menggunakan bahasa, angka-angka, objek fisik yang ada di sekeliling,
bunyi, badan dan juga keterampilan sosial.
1.
Tujuh Kecedasan Manusia menurut Multiple Intellegences
1) Kecerdasan Bahasa (Verbal/Linguistic
Intelegence)
Kemampuan untuk menggunakan kata-kata atau bahasa.
Pembelajar seperti ini memiliki kemampuan mendengarkan (auditory) yang
sudah berkembang dengan baik dan biasanya merupakan pembicara yang baik. Mereka
berpikir dengan kata-kata dan bukan dengan gambar.
Keterampilan mereka termasuk: menyimak, berbicara,
menulis, bercerita, menjelaskan, mengajar, menggunakan humor, memahami struktur
kalimat dan makna kata, mengigat informasi, meyakinkan seseorang tentang sudut
pandang mereka, menganalisa bahasa dari segi penggunaannya.
Pilihan karir yang memungkinkan: pujanga, wartawan, penulis, guru, ahli
hukum, politikus, dan penerjemah.
2) Kecerdasan Logika/Matematika (Logical/mathematical
Intelegence)
Kemampuan untuk menggunakan alasan, logika, dan
angka-angka. Pembelajar tipe ini berpikir secara konseptual dalam pola logika
dan angka-angka, membuat kaitan antara potongan-potongan informasi. Selalu ingin
tahu tentang dunia di sekeliling mereka, pembelajar seperti ini banyak bertanya
dan senang melakukan eksperimen.
Keterampilan mereka adalah: memecahkan masalah,
mengklasifikasikan sesuatu dan mengelompokkan informasi, bekerja dengan konsep
abstrak untuk mengetahui hubungan yang ada antara satu dengan lainnya,
behubungan dengan serangkaian alasan untuk membuat analisa yang logis,
melakukan eksperimen terkontrol, mempertanyakan kejadian-kejadian alam,
mengerjakan perhitungan matematika yang rumit, serta bekerja dengan
bentuk-bentuk geometris. Kemungkinan pilihan karir: ilmuan, insinyur, pembuat
program komputer, peneliti, akuntan, dan geometris.
3) Kecerdasan Musik/ Irama (Musical/
Rhythmic Intelligence)
Kemampuan untuk memainkan, mengapresiasi, dan menghasilkan. Pembelajar yang
memiliki kecenderungan musik ini berpikir dalam bunyi-bunyi, irama, dan
pola-pola. Mereka dengan segera merespon musik, apakah mengapresiasi atau
mengkritik apa yang mereka dengar. Banyak di antara pembelajar tipe ini
sensitif terhadap bunyi-bunyi di lingkungan sekitarnya (misalkan bunyi
jangkrik, bel, atau air menetes dari kran. Kemampuan mereka termasuk:
bernyanyi, bersiul, bermain alat musik, mengenali pola nada, membuat komposisi
musik, mengingat melodi, memahami struktur, dan ritme musik. Jalur karir yang
mungkin: musisi, disc jockey, penyanyi, kompesor.
4) Kecerdasan Visual/Ruang (Visual/Spatial
Intelligence)
Untuk memperhatikan apa yang terlihat, pembelajar
seperti ini cenderung berpikir dalam gambar dan menciptakan bayangan yang jelas
untuk menyimpan informasi. Mereka suka melihat peta, bagan, gambar, video, dan
film.
Keterampilan mereka adalah: mengaitkan potongan-potongan gambar, membaca,
menulis, memahami tabel dan grafik, menentukan arah, membuat sketsa, melukis,
menciptakan metafora visual, dan analogi (mungkin dengan tampilan gambar),
memanipulasi bayangan, memperbaiki sesuatu, merancang barang yang praktis, dan
menafsirkan gambar. Pilihan karir yang memungkinkan: navigator, pemahat,
seniman(visual), penemu, arsitek, desainer interior, mekanik, insinyur.
5) Kecerdasan Fisik/Gerak (Bodily/Kinesthetic
Intelligence)
Kemampuan untuk mengatur gerak tubuh dan menangani
benda-benda dengan ahli. Pembelajar seperti ini mengekspresikan dirinya melalui
gerakan. Mereka memiliki kemampuan alami dalam hal keseimbangan serta
koordinasi mata dan tangan (misalkan, menyeimbangkan palang-palang). Dengan
berinteraksi dengan ruang di sekitar mereka dan melakukan sesuatu kegiatan,
mereka mampu mengingat dan memproses informasi.
Keterampilan mereka termasuk: menari, koordinasi
fisik, olahraga, eksperimen praktis, menggunakan bahasa tubuh, kerajinan
tangan, akting, berpantonim, menggunakan tangan untuk menciptakan emosi ke
seluruh tubuh. Pilihan karir yang memungkinkan: Atlet, guru olahraga, penari,
pemain film, petugas pemadam kebakaran, pekerja seni.
6) Kecerdasan Hubungan Antarmanusia (Interpersonal
Intelligence)
Pembelajar seperti ini berusaha untuk melihat
segala sesuatunya dari sudut pandang orang lain agar ia bisa memahami bagaimana
mereka berpikir dan merasakan. Mereka terkadang memiliki kemampuan yang sulit
untuk dijelaskan misalkan kemampuan untuk merasakan perasaan, maksud, dan
motivasi. Mereka merupakan seorang yang mampu mengorganisir dengan baik,
meskipun terkadang mereka menggunakan manipulasi. Pada umumnya mereka berusaha
untuk mempertahankan kedamaian dalam setting kelompok dan mendorong pertanian.
Mereka menggunakan bahasa baik verbal (misalkan berbicara) maupun nonverbal (misalkan
kontak mata, bahasa tubuh) untuk membuka kesempatan komunikasi dengan baik.
Keterampilan mereka adalah: melihat segala sesuatu
dari perspektif lain, menyimak, menggunakan empati, memahami perasaan orang
lain, memberikan bimbingan, bekerja sama dengan kelompok, memperhatikan
perasaan orang-orang, motivasi dan maksud, berkomunikasi baik secara verbal
maupun nonverbal, membangun kepercayaan, mengatasi konflik secara damai,
mengembangkan hubungan positif dengan orang lain. Pilihan karir yang
memungkinkan: penasehat, penjual, politikus, pebisnis.
7) Kecerdasan Hubungan Antarmanusia (Interpersonal
Intelligence)
Kemampuan untuk melakukan refleksi atas diri
sendiri dan menyadari keadaan dalam diri sendiri. Pembelajar seperti ini
berusaha untuk memahami perasaan dalam diri mereka dan dalam hubungan dengan
lainnya, dan kekuatannya dan kelemahannya.
Keterampilan mereka adalah: mengenali kekuatan dan
kelemahan diri mereka sendiri, merefleksikan dan menganalisa diri mereka
sendiri, kesadaran atas perasaan dalam mereka, mengevaluasi pola pikir,
memberikan penjelasan bagi diri mereka sendiri serta memahami peran mereka dalam
kaitannya dengan orang lain. Pilihan karir yang memungkinkan: peneliti, penemu
teori, filsuf.
4.2
Sifat-sifat Intelegensi Verbal Linguistik
Di awal sejarah Negara (Amerika Serikat), di
sekolah-sekolah Massachusetts Bay Colony, membaca dan menulis meliputi dua
pertiga kurikulum. Dewasa ini kurikulum telah berkembang pesat. Akan tetapi,
membaca dan menulis, sejalan dengan menyimak dan berbicara, tetap merupakan
alat yang esensial dalam mempelajari semua pelajaran.
Hasil-hasil penelitian
yang dilakukan oleh para pelopor pendidikan: Lev Vygotsky, Susanne Langer,
James Brimon, dan James Moffet (dalam Campbell, Campbell, dan Dickinson,
2006:12) terdata karakteristik-karakteristik kecerdasan verbal linguistik
sebagai berikut.
1) Mendengar dan merespon setiap suara,
ritme, warna, dan berbagai ungkapan kata.
2) Menirukan suara, bahasa, membaca, dan
menulis dari orang lain.
3) Belajar melalui menyimak, membaca,
menulis, dan diskusi.
4) Menyimak secara efektif, memahami,
menguraikan, menafsirkan, dan mengingat apa yang diucapkan.
5) Membaca secara efektif, memahami,
meringkas, menafsirkan atau menerangkan, dan mengingat apa yang telah dibaca.
6) Berbicara secara efektif kepada berbagai
pendengar, berbagai tujuan, dan mengetahui cara berbicara secara sederhana,
fasih, persuasif, atau bergairah pada waktu-waktu yang tepat.
7) Menulis secara efektif, memahami, dan
menerapkan aturan-aturan tata bahasa, ejaan tanda baca, dan menggunakan
kosakata yang efektif.
8) Memperlihatkan kemampuan untuk mempelajari
bahasa lainnya.
9) Menggunakan keterampilan menyimak,
berbicara, menulis, dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi,
menjelaskan, mempengaruhi, mencipta- kan pengetahuan, menyusun makna, dan
menggambarkan bahasa itu sendiri.
10) Berusaha untuk mengingatkan pemakaian
bahasanya sendiri.
11) Menunjukkan minat dalam jurnalisme, puisi,
bercerita, debat, berbicara, menulis atau menyunting.
12) Menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau
karya tulis orisinil atau komunikasi oral.
4.3 Peningkatan
Keterampilan Menulis Melalui Strategi Multiple Intelegence
Keterampilan menulis pada dasarnya tidak
terlepas dari tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu menyimak, berbicara,
dan membaca (Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman, 1986; Weafer, 1992, dalam
Santosa, 2004). Menulis didorong oleh kegiatan berbicara, membaca, dan
menyimak. Menulis membawa ide-ide dari seseorang dengan tujuan dan makna yang
berbeda. Siswa melalui bermacam kegiatan menulis, dapat mengembangkan perasaan
audiens dan merasakan kegiatan menulis sebagai tindakan yang relevan yang
terjadi di antara diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Britton (1970) menyarankan para guru tentang
pembelajaran menulis sebagai berikut.
1) Menulis secara mekanis
2) Menulis untuk informasi
3) Menulis untuk keperluan personal
4) Menulis untuk pengembangan imajinasi
Keempat model pembelajaran menulis sebagaimana
disebutkan tersebut memberi peranan besar untuk melatih dan mengembangkan
kecerdasan verbal-linguistik.Di samping itu, untuk meningkatkan kecerdasan
verbal-linguistik dalam mengungkapkan gagasan secara tertulis, terdapat tiga
model lain yang juga disarankan untuk diterapkan oleh para guru dalam
pembelajaran bahasa aspek keterampilan menulis di kelas, yaitu:
1) Menuliskan dengan memanfaatkan musik/lagu.
2) Menulis berdasarkan potret lingkungan.
3) Menulis berdasarkan cerita rakyat yang
didengar.
5. Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki
kontribusi sebagai berikut.
1) Bagi guru, penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi
sebagai salah satu alternatif pemilihan model atau strategi pembelajaran yang
dapat diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas. Di
samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat terdata siswa-siswa yang
memiliki bakat kecerdasan linguistik yang selanjutnya dapat dibina dan
diarahkan agar siswa yang bersangkutan dapat mengembangkan bakatnya atau
kecerdasannya secara maksimal.
2) Bagi siswa, peningkatan keterampilan menulis melalui
penerapan strategi pembelajaran multiple intelegences diharapkan
dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih mengembangkan kecerdasannya.
Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menciptakan konsep kerja
sama dan menumbuhkan kecintaan siswa untuk belajar.
3) Bagi LPTK, sebagai lembaga yang mendidik calon guru, baik
calon guru Sekolah Dasar maupun calon guru sekolah menengah atau sekolah
lanjutan, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif model
pembelajaran dalam pembekalan mahasiswa yang memprogramkan Matakuliah
Pengajaran Mikro karena model pembelajaran multiple intelegences merupakan
salah satu model pembelajaran yang sangat efektif untuk diterapkan di sekolah.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu referensi
Matakuliah Strategi Belajar-Mengajar.
6. Metode
Penelitian
1) Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan sebagai
penelitian tindakan kelas (action research). Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Classroom Action Research
(CAR), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan di kelas. Kelas, dalam hal ini tidak terikat
pada ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Kelas adalah
sekelompok peserta didik yang sedang belajar.
PTK dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu
praktik pembelajaran di kela s. PTK berfokus pada kelas atau pada proses
belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dan bukan pada input kelas (silabus, materi,
dll.) ataupun output (hasil belajar). PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal
yang terjadi di dalam kelas (Depdiknas Dirjen PMPTK, 2007). Hasil penelitian tidak dimaksudkan
untuk digeneralisasikan. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong sebagai
penelitian kualitatif. Secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa penelitian ini
(1) dilakukan pada setting alamiah, yaitu lingkungan kelas, (2) data penelitian
lebih bersifat deskriptif dan data yang akan terkumpul berbentuk kata-kata
sehingga tidak menekankan pada angka, (3) lebih mengarah pada proses daripada
hasil, (4) analisis data dilakukan secara induktif, (5) peneliti merupakan
instrumen kunci, dan (6) lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2005:10)
2) Tempat
Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD
Negeri 35 Kota Banda Aceh. Pemilihan SD Negeri 35 sebagai tempat penelitian ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa SDN
35 merupakan salah satu SD inti. SD inti merupakan merupakan SD yang sudah
mendapat pengakuan dari Depdiknas setempat sebagai SD yang dinilai baik dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, memiliki guru-guru yang berkompeten,
administrasi yang teratur, dan fasilitas belajar-mengajar yang lengkap. Sekolah
inti juga merupakan sekolah percontohan atau sekolah imbas bagi sekolah-sekolah
lainnya.
3) Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah berupa
perangkat pelaksanaan pembelajaran, konteks pembelajaran yang melibatkan guru
dan siswa, fenomena kelas yang teramati dalam konteks pembelajaran, model-model
pembelajaran menulis dengan strategi pembelajaran berbasis multiple
intelegences yang diterapkan, dan
hasil pembelajaran menulis baik sebelum penerapan strategi pembelajaran
berbasis multiples intelegences maupun setelah penerapan model pembelajaran
kooperatif.
Mengingat penelitian ini dilakukan secara
kolaboratif, sumber data penelitian ini adalah peneliti, guru, dan siswa kelas
V SDN 35 Kota Banda Aceh dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.
Di sisi lain, peneliti juga merupakan instrumen kunci (key instrument)
dalam penelitian ini.
4) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini
direncanakan dilaksanakan dalam tiga siklus.
Secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui pada setiap
siklus, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4)
refleksi. Kegiatan pengumpulan data pada setiap siklus dapat digambarkan
sebagai berikut.
(1) Siklus I
a) Perencanaan
- Penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara kolaboratif antara peneliti
dan guru kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh
- Penyusunan
instrumen tes awal
- Penyiapan
media pembelajaran, LKS, dan instrumen pendukung lainnya
untuk penerapan pembelajaran menulis dengan
menggunakan musik/lagu
sebagai media rangsangan untuk menulis.
·
Kegiatan
pembelajaran pada siklus ini meliputi: mendengarkan musik/lagu
melalui tape recorder kemudian siswa
diminta mendata kosakata pada setiap
bait lagu untuk dibuat sinonim kata, antonim kata,
dan menuliskan bagian lirik yang paling berkesan dalam lagu yang
diperdengarkan.
b) Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dapat
dikatakan tidak dapat dipisahkan dengan tahap
pengamatan. Oleh karena itu,
tahap pelaksanaan dan tahap pengamatan dilaku-
kan secara bersamaan. Kegiatan
penelitian pada tahap ini adalah sebagai
berikut.
·
Melaksanakan
tes awal dalam bentuk memperlihatkan sebuah gambar sebagai stimulus dan meminta
setiap siswa menulis berdasarkan gambar yang diperlihatkan tersebut. Tes ini
lebih dimaksudkan sebagai upaya pengenalan kemampuan siswa dalam menulis.
·
Memperdengarkan
lagu melalui tape recorder kemudian meminta setiap siswa menuliskan
kosakata-kosakata yang mereka ingat dari setiap bait lagu. Langkah berikutnya adalah menuliskan
sinonim kata dan antonim kata dari lagu setiap kosakata yang mereka data
melalui lagu.
·
Setelah
kegiatan menulis sinonim dan antonim kata selesai, kegiatan berikutnya adalah
meminta setiap siswa menuliskan bagian dari bait lagu yang memberikan kesan
mendalam baginya disertai dengan alasan-alasan yang logis.
·
Setiap
data dalam proses kegiatan ini dicatat secara cermat dan didokumentasikan
secara khusus sebagai bagian dari kegiatan pengamatan.
c) Refleksi
Refleksi dalam konteks PTK tidak lain
adalah evaluasi. Setelah kegiatan pelaksanaan Jadi, satu siklus adalah dari
tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah
evaluasi. Setelah kegiatan pelaksanaan dan pengamatan selesai, langkah
berikutnya adalah melakukan tinjauan ulang terhadap keberhasilan dan kegagalan
yang terjadi pada proses yang telah dilalui tersebut. Berdasarkan evaluasi atau
refleksi itulah peneliti bersama guru mitra menyusun rancangan penelitian untuk
siklus II. Rancangan penelitian pada siklus II sangat bergantung kepada data
atau hasil yang didapat pada siklus I.
(2) Siklus II
Pada siklus II ini peneliti merencanakan
menerapkan strategi pembelajaran menulis dengan menggunakan potret
lingkungan sekolah sebagai stimulus. Menulis pada tahap ini lebih mengarah
pada menulis deskripsi laporan pandangan mata. Untuk maksud tersebut, peneliti
menyiapkan sejumlah potret lingkungan sekolah dalam ukuran yang mudah teramati
dan dikemas secara menarik. LKS sebagai panduan kerja siswa juga dipersiapkan
secara matang. Tahap pada siklus II ini merupakan jenjang yang lebih tinggi
daripada kegiatan menulis pada siklus I. Akan tetapi, perencanaan dan
pelaksanaan penelitian pada siklus II ini sangat bergantung kepada hasil refleksi
pada siklus I.
(3) Siklus III
Rencana pelaksanaan tindakan yang
dipersiapkan untuk siklus III adalah memperdengarkan cerita rakyat. Cerita
rakyat yang dipilih adalah cerita rakyat yang dipandang dekat dengan lingkungan
anak, yaitu salah satu cerita rakyat Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan mengikuti
petunjuk LKS, siswa diminta menuliskan tema, penokohan, alur cerita, dan
amanat. Bentuk tulisan yang diharapkan dihasilkan oleh siswa adalah tulisan
yang dijalin dalam bentuk paragraf naratif. Siswa diminta berimajinasi menulis
ulang cerita dengan mengemukakan tema cerita, penokohan, alur cerita, dan
amanat cerita. Pada siklus ini juga diterapkan model menulis terbimbing. Namun,
rencana pelaksanaan tindakan pada siklus III ini sangat bergantung kepada hasil
refleksi siklus II. Jadi, bentuk
penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal, tetapi selalu
harus berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk
siklus.
5 ) Analisis Data
(1)
Analisis Data Kuantitatif
Data penelitian ini terdiri atas
data yang berbentuk angka-angka dan data yang
berbentuk deskripsi kata-kata.
Data yang berbentuk angka yang diperoleh dari
hasil tes (sesuai petunjuk LKS), diolah untuk
mendapatkan nilai rata-rata (mean).
Langkah-langkah yang ditempuh
dalam pengolahan data kuantitatif tersebut
sebagaimana disarankan oleh
Sudijono (2005:51) adalah sebagai berikut.
1) Menentukan range
2) Menentukan jumlah kelas
3) Menentukan lebar kelas
4) Menyusun table distribusi frekuensi
5) Menghitung nilai rata-rata dengan
rumus:
FX
X = ----------
N
Keterangan: X
= skor rata-rata yang dicari
FX =
hasil perkalian antara F dan X
N =
jumlah subjek
(2) Analisis Data Kualitatif
Terkait dengan data kualitatif dapat dijelaskan bahwa analisis data
dilakukan dengan cara menata secara sistematis hasil pengamatan dan tindakan di
kelas sehingga diperoleh sebuah deskripsi data yang utuh dan runtut. Analisis
data kualitatif terdiri atas (a) analisis selama pengumpulan data dan (b)
analisis setelah masa pengumpulan data.
Analisis data selama masa
pengumpulan data dimaksudkan agar setiap temuan data tidak mudah terlupakan dan
seandainya terdapat hal-hal yang kurang jelas bisa langsung dikonfirmasikan
kembali dengan subjek penelitian. Selain itu, analisis ketika proses
pengumpulan data dapat menghindari kemungkinan penumpukan data. Langkah-langkah
analisis data pada masa pengumpulan data adalah sebagai berikut.
1) Merekam secara tertulis proses atau
interaksi pembelajaran yang berlangsung pada penerapan strategi menulis
berbasis mulptiple intelegences pada setiap siklus.
2) Menganalisis tanggapan guru dan siswa
terhadap strategi pembelajaran yang diterapkan.
3) Menganalisis semua tulisan siswa yang
dihasilkan pada setiap siklus.
4) Membuat dokumen portofolio.
5) Melakukan triangulasi dengan narasumber,
yaitu guru, siswa, anggota tim peneliti, dan teman sejawat.
6) Melakukan pemilahan data sesuai dengan
strategi pembelajaran yang diterapkan.
Analisis data setelah masa
pengumpulan data selesai mengikuti langkah-langkah berikut.
1) Mempelajari kembali keseluruhan analisis
yang dilakukan pada masa pengumpulan data.
2) Melakukan penambahan, pengembangan, dan
perbaikan-perbaikan terhadap analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
3) Menyusun simpulan sementara.
4) Melakukan pengkajian ulang terhadap
keseluruhan hasil analisis dan triangulasi.
5) Penarikan simpulan akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Britton, J. 1970. Language and Learning. Harmondsworth, England:
Penguin.
BSNP. 2006. Standar Isi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: BSNP
Campbell, Linda. dkk. 2006.
Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence. Depok :
Intuisi Press.
Gardner, H. 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.
N.Y:
Basic Books.
Depdiknas. 2006. Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdiknas.
Dirjen PMPTK Depdiknas.
2002. Pedoman Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: Depdiknas.
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran
Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi. dkk. 2004. Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: UNM 2004.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
Sudijono, Anas. 2005. Pengantar
Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
LAMPIRAN 2.
CONTOH LAPORAN
PTK
PENINGKATAN KEMAMPUAN APRESIASI PUISI MELALUI LAGU
SISWA SLTP NEGERI 4 KEPANJEN
MALANG, JAWA TIMUR
Misnatul Sakdiyah*
ABSTRAK
Rutinitas pembelajaran apresiasi puisi menyebabkan siswa jenuh tidak
menyukai pembelajaran apresiasi puisi. Hal ini disebabkan guru cenderung
mengajarkan apresiasi puisi secara sepotong-sepotong, dengan bahan pembelajaran
yang kurang disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan siswa. Selain
itu, guru juga tidak menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, dan
tidak memadukan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis) dalam setiap kegiatan pembelajaran apresiasi puisi. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, peneliti mencoba menggunakan lagu sebagai alat
dan bahan pembelajaran apresiasi puisi. Karena itu, permasalahan dalam
penelitian ini adalah:”Dapatkah lagu digunakan sebagai alat apresiasi untuk
meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas II catur wulan pertama?
“Pemilihan lagu sebagal alat pembelajaran apresiasi puisi disesuaikan dengan
minat dan tingkat perkembangan siswa.” Keterpaduan empat aspek keterampilan
berbahasa terlihat pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Siswa aktif
mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru dapat menciptakan suasana belajar yang
santai. Antusiasme siswa terhadap kegiatan pembelajaran meningkat. Suasana
santai dan menyenangkan berdampak pada hasil kegiatan belajar siswa yang
menunjukan ketuntasan hingga 89%.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam tujuan umum pembelajaran yang terdapat
dalam kurikulum 1994 GBPP mata pelajaran Bahasa Indanesia disebutkan bahwa
tujuan pembelajaran sastra secara umum adalah agar siswa mampu menikmati,
memahamii, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. Dari tujuan umum tersebut, siswa diharapkan mampu menikmati, menghayati,
memahami, dan menarik manfaat membaca karya-karya sastra.
|
Pembelajaran sastra di kelas
II SLTP bertujuan agar siswa mampu membaca karya sastra dengan penghayatan dan
memahami berbagai cara pengungkapan perasaan dan gagasan dalam karya sastra.
Terkait dengan itu, didalam butir pembelajaran kelas II caturwulan pertama
terdapat butir pembelajaran tentang pembelajaran puisi. Butir pembelajaran
tentang puisi tersebut adalah sebagai berikut;
(1) membaca puisi, kemudian mendeklamasikan atau
melagukan, (2) menuliskan pengalaman pribadi yang paling menarik dalam bentuk
puisi. Selanjutnya, dua butir tujuan pembelajaran kelas II caturwulan pertama
ini merupakan tujuan dalam kegiatan belajar mengajar penelitian tindakan kelas
ini.
Pembelajaran apresiasi puisi
yang diajarkan di SLTP mulai kelas I, II dan Ill merupakan salah satu materi
pembelajaran sastra yang lebih sulit dan banyak menimbulkan masalah daripada
apresiasi karya sastra lainnya (prosa). Pembelajaran apresiasi puisi yang
seharusnya dapat sangat rnenyenangkan ternyata membosankan dan sekaligus
menakutkan, baik bagi guru maupun siswa. Guru yang cenderung mengajarkan
apresiasi puisi secara sepotong-sepotong, dengan bahan yang kurang disesuaikan
dengan minat dan tingkat perkernbangan siswa, serta menggunakan pendekatan yang
tidak dipadukan dengan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis) akan menyebabkan siswa tidak terkondisi untuk menyukai
pembelajaran apresiasi puisi.
Pelaksanaan pembelajaran
bahasa Indanesia seringkali berada dalam suasana rutinitas sehingga menimbulkan
rasa bosan dan jenuh. Kandisi pembelajaran seperti itu sulit memenuhi
pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. Sebagai dinamisator, guru perlu
menciptakan suasana belajar yang kandusif, mampu membangkitkan motivasi belajar,
mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa. Kandisi itu dapat
diciptakan guru antara lain dengan memilih dan memvariasikan penggunaan metode,
dan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang dikembangkan. Di samping
itu, pemilihan materi pembelajaran yang aktual dan sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa akan sangat mempengaruhi kandisi pembelajaran tersebut.
Siswa SLTP kelas II caturwulan
pertama sebagian besar mengalami kesulitan dalam pembelajaran apresiasi puisi.
Hal itu disebabkan: (1) pendekatan dan metode pembelajaran apresiasi puisi yang
diterapkan oleh guru manaton (tidakvoriatif) dan didominasi oleh pendekatan
struktur bukan humanistik, (2) bahan pembelajaran apresiasi puisi yang dipilih
guru kurang variatif dan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa
(kurang sesuai dengan prinsip dari mudah ke sukar, atau dari sederhana ke
kompleks), dan (3) siswa terkondisi dalam situasi pembelajaran yang
terindoktrinasi, kurang “bebas terarah” sehingga mereka kurang berkesempatan
mengekspresikan kemampuan apresiasmya secara maksimal.
Untuk mengatasi hal-hal
tersebut, disajikan pembelajaran apresiasi puisi pada siswa dalam menggunakan
siswa dengan menggunakan lagu (syair lagu) sebagai alat apresiasi. Selanjutnya
dalam kegiatan pembelajaran itu diharapkan pembelajaran secara terpadu dengan
empat ospek keterampilan berbahasa. Sedari itu, suasana pembelajaran yang
menyenangkan dapat terkondisi dalam kegiatan pembelajaran apresiasi puisi
dengan menggunakan lagu.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah:
“Bagaimanakah lagu diterapkán sebagai alat apresiasi untuk meningkatkan
kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas Il caturwulan pertama?“
C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum
Tujuan umum penetitian tindakan kelas mi
adalah untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas II
caturwulan pertama dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi.
2) Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum pada
subbob sebelumnya, dopaf dirmci tujuan khusus sebagai berikut:
a) Menyajikan pembelajaran apresiasi puisi
pada siswa SLTP kelas II caturwulan pertama dengan menggunakan lagu sebagai
alat apresiasi.
b) Menerapkan pembelajaran apresiasi puisi
tersebut secara terpadu dengan empat aspek keterampilan berbahasa dengan
menggunakan lagu sebagal alat apresiasi.
c) Mengondisikan siswa dalam suasana
pembelajaran yang “bebas” dan menyenangkan sehingga mereka antusias dalam
belajar.
D. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Umum
Manfaat umum dalam penelitian
tindakan kelas ini adalah agar guru dapat menyajikan pembelajaran apresiasi
puisi dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi secara tenpadu dengan
empaf aspek keterampilan berbahasa.
2) Manfaat Khusus
Sesuai dengan manfaat umum
tersebut dapat dipilah beberapa manfaat khusus sebagai berikut:
a) Guru dapat meningkatkan kemampuan
apresiasi puisi siswa SLTP kelas II caturwulan pertama dengan menggunakan lagu
sebagai alat apresiasi yang diintegrasikan dengan empat aspek keterampilan
berbahasa.
b) Siswa dapat mengembangkan kemampuan
aparesiasi puisinya sehingga dapat memetik manfaat dan hasil apresiasi puisi
tersebut.
c) Siswa dapat mengapresiasikan kemampuan
apresiasinya terhadap puisi secara bebas sesuai dengan tingkat pengalaman,
pengetahuan, dan daya kreasinya.
II. KAJIAN TEORI
A. Lagu sebagai Alat Apresiasi Puisi
Kemampuan apresiasi puisi siswa terlebih dahulu
diawali dengan memahami makna yang terkandung dalam puisi. Setelah itu siswa
dapat memahami isi puisi dengan kemampuan kognisinya. Selain itu, afeksi siswa terlihat pada pemahaman
siswa saat mengapresiasikan puisi, yakni dengan cara menghayati dan menikmati
keindahan puisi tersebut.
Dalam pembelajaran sastra,
keterpaduan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca,
menulis) harus disajikan dalam porsi yang seimbang. Keterpaduan ketrampilan
berbahasa dalam pembelajaran apresiasi puisi dengan lagu sebagai alat dan bahan
pembelajaran adalah sebagai berikut.
Menyimak (lagu) ==> Benbicara (berdiskusi)
==> Menulis ==> Membaca ==> Mendengarkan ==> Berbicoro
(berkomentar).
Salah satu cara untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran apresiasi puisi adalah dengan
pemilihan bahan pembelajaran yang digemari siswa. Salah satu bahan puitis yang
banyak digemarl siswa adalah lagu. Sekarang ini banyak lagu yang syairnya
puitis yang beredan di masyarakat dan digemari oleh siswa. Lagu dapat dipakai
sebagai alat dan bahan pembelajaran apresiasi puisi. Tentu saja lagu tersebut
harus disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan siswa.
Secara material, lagu memiliki
‘tema’ yang berhubungan dengan kehidupan manusia (Maley, 1987). Tema tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan pembelajaran. Dengan demikian,
penelitian lagu sebagai bahan pembelajaran dapat disesuaikan dengan tema yang
ada dalam GBPP Selain itu, lagu juga dapat digunakan sebagi sumber belajar.
Bernyanyi merupakan suatu
kegiatan mengungkapkan pikiran kritis dan perasaan melaui nada dan kata-kata
yang terpilih (Jamalus, 1988). Dengan demikian, nyanyian dapat dijadikan sarana
pembelajaran bahasa dan dapat digunakan untuk mengembangkan motivasi,
pengalaman, dan pengetahuan. Pernyataan tersebut didasarkan pada hakikat
nyanyian atau lagu sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman, pengetahuan,
perasaan batin, dan sikap atau pandangan hidup, memberikan dorongan dan lain
sebagainya.
Secara umum, bernyanyi bagi
anak-anak lebih berfungsi sebagai aktifitas bermain daripada sebagai aktifitas
pembelajaran atau penyampaian pesan. Whitermgton (1984) menjelaskan bahwa pada
dasarnya aktifitas bermain digunakan anak-kanak untuk mengembangkan dan
mengkreasikan potensi diri yang dimiliknya, walaupun anak tersebut tidak
menyadari.
Sedari itu, Kartono (1982)
menegaskan bahwa bermain bagi anak di samping memiliki sifat kataris, juga
dapat menjadi alat pendidikan yang tepat. Pernyataan itu bertolak dari hakikat
bermain itu sendiri, yakni dapat memberikan kepuasan, kegembiraan, dan
kebahagian. Beranalogi dari sifat bermain tersebut, bernyanyipun demikian pula.
Bernyanyi memiliki sifaf kataris dan dapat digunakan sebagai alat pendidikan.
Selain itu, bernyanyi dapat memberikan kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan
bagi anak-anak. Menegaskan pendapat tersebut, menurut Jamalus dan Fatima (1984)
musik merupakan seni yang mampu mengungkapkan nuansa kehidupan seperti:
kegembiraan, kesedihan, kepahlawanan, kemesraan dan sebagainya. Di dalam musik
dan nyanyian itu tersimpan daya kataris yang mampu membentuk sikap dan
mengembangkan daya pikirn anak-anak.
Hasil penelitian Murphey
(1990) membuktikan bahwa anak-anak sangat menyukai nyanyian. Mereka senang
mempelajari, cepat menguasai, dan mudah mempraktekkannya. Jordan dan Mackay
(dalam Murphey, 1990) menegaskan bahwa pada usia 8-13 tahun anak senang
menyanyi. Jika apa yang disenangi tersebut dapat dimanfaatkan, maka dapat
memperluas pengalaman, pembentukan sikap, keberanian, dan kebiasaan memberikan
peluang untuk membentuk ketrampilan berbahasa.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan o!eh beberapa peneliti, yakni: Chenfeld (1978);
Dobson (dalam Pratiwi, 1984); Hoffer (1984); Maley (1987); Murphey (1990);
Levin (dalam Simbiak, 1 993); Orlova (1997); dan Rahayu (2000) dapat
disimpulkan manfaat penggunaan lagu sebagai bahan pembelajaran adalah untuk
menghilangkan kejenuhan belajar, menciptakan suasana santai, dan dapat
memberikan kesenanangan kepada pembelajar. Selain itu, dari segi akademik,
penggunaan lagu dalam kegiatan belajar bahasa dapat meningkatkan penguasaan
kosakata, makna kata, kemampuan apresiasi, dan meningkatkan pemahaman akan
nilai-nilai perasaan.
III. PEMBAHASAN
A. Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi Siswa
MelaIui Lagu Sebagai Alat
Apresiasi
Dalam penelitian tindakan kelas ini, guru sebagai peneliti sekaligus yang
melakukan tindakan di dalam kelas. Kolaborator dalam penelitian ini adalah guru
mata pelajaran bahasa Indonesia dan siswa tempat diadakannya penelitian.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dirumuskan dirancang
dalam bentuk siklus. Banyaknya siklus yang direncanakan adalah dua siklus. Satu
siklus terdiri atas dua pertemuan, masing-masing dua jam pelajaran. Tujuan
pembelajaran pada pertemuan pertama adalah: “membaca puisi, kemudian
mendeklamasikan, atau melagukannya.” Tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada
pertemuan kedua adalah: “menuliskan pengalaman pribadi dalam bentuk puisi.”
Jenis data dalam penelitian
ini adalah data verbal dan data nonverbal. Data verbal berupa hasil tes tulis
siswa, yakni menganalisis syair lagu dan menulis pengalaman pribadi dalam
bentuk puisi. Selanjutnya, data nonverbal adalah antusiasme siswa saat
mengikuti proses pembelajaran dan mengapresiasikan siswa terhadap syair lagu
dengan cara membacakan, mendeklamasikan, dan/atau melagukan syair lagu
tersebut. Data verbal dan nonverbal diperoleh dengan menggunakan tes dan
nontes. Tes dilakukan diawal kegiatan pembelajaran (pretes) dan diakhir
kegiatan pembelajaran (postes). Tes yang diberikan kepada siswa adalah tes
tulis. Teknik nontes dilaksanakan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung.
Fungsi nontes mi adalah untuk mengukur kemampuan siswa dalam mengapresiasikan
syair lagu bewat cara siswa membacakan, mendeklamasikan, dan/atau melagukan
syair lagu tersebut. Selain itu, teknik nontes ini juga digunakan untuk
mengetahui antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran nonverbal.
Penelitian tindakan kelas ini
menggunakan dua macam instrumen penjaring data. Instrumen penjaring data
tersebut adalah: (1) tes, dan (2) nontes. Instrumen tes berupa penilaian hasil
belajar siswa terhadap syair lagu (puisi) yang harus diapresiasmya. Instrumen
non-tes berupa: (a) pedoman observasi, (b) pedoman wawancara untuk guru, (c)
pedoman wawancara untuk siswa, serta (d) kuesioner untuk siswa. Instrumen
non-tes tersebut dapat dilengkapai dengan data permasalahan yang timbul pada
saat KBM berlangsung, keoptimalan komunikasi dan interaksi KBM, pendapat dan
komentor guru dan/atau siswa tenhada KBM.
Lagu yang dipakai sebagai alat
dan bahan untuk kegiatan, pembelajaran apresiasi adalah bagu yang sesuai dengan
minat dan tingkat perkembangan siswa. Sedari itu, guru juga dapat mengaitkannya
dengan tema pembelajaran saat itu. Tema pembelajaran dalam penelitian ini
adalah: “Kelautan/lingkungan”. Untuk itu, guru/peneliti memilih lagu yang
berjudul: ‘Burung Camar” yang dinyanyikan oleh Vina Panduwinata. Sebelum
kegiatan pembelajaran berlangsung, guru sudah menugasi siswa secara berkelompok
untuk mendengarkan lagu yang mereka sukai di rumah. Mereka ditugasi untuk
menuliskan syair lagu yang mereka dengarkan, memaknai kata sulit tiap
larik/bait dalam lagu, mengomentari isi dan bahasa syair lagu. Selanjutnya
tugas tersebut dipresertasikan pada awal kegaitan pembelajaran. Dalam hal ini
dipilih secara acak oleh guru, misalnya dipilih lagu yang berkaitan dengan tema
lingkungan/alam.
Pada kegiatan ini, guru
memperdengarkan lagu: “Burung Camar”, dan siswa mendengarkannya sambil
melengkapi kata-kata rumpang dalam syair lagu yang terdapat dalam LKS yang
telah dibagikan kepada mereka. Setelah itu, untuk mencocokkan hasil kegiatan
mendengarkan itu, siswa menukarkan hasilnya dengan siswa lain, dan guru
memperdengarkan kembali lagu tersebut. Kegiatan ini dilanjutkan dengan tugas
berikutnya dalam LKS, yakni: (a) menjelaskan maksud tiap bait dalam lagu, (b)
memarafrase, (c) mengomentari bahasa dan isi syair lagu, dan (d)
membacakan/mendeklamasikan syair lagu.
Kegiatan berlangsung santai,
menyenangkan, dan siswa merasa tidak tertekan. Guru dapat melihat antusiasme
siswa saat KBM berlangsung. Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan hasil
yang memuaskan. Untuk mengakhiri kegiatan pembelajaran ini, guru bersama siswa
menyanyikan lagu “Burung Camar” yang diiringi/diselingi dengan pembacaan syair
lagu tersebut oleh beberapa siswa yang ditunjuk secara acak.
Pada pertemuan II, untuk
membangkitkan daya imajinasi siswa tentang lingkungan/alam, guru tetap
menggunakan lagu sebagai kegiatan pendahuluan. Lagu yang diperdengarkan guru
adalah lagu-lagu yang bertemakan lingkungan/alam, misalnya: “Berita Kepada
Kawan” oleh Ebit.G.Ade, “Berita Cuaca” ciptaan Gombloh yang dinyanyikan oleh:
Boomerang.
Siswa diajak membayangkan
suasana alam atau lingkungan yang ada dalam syair lagu. Selain itu, guru
menggunakan alat peraga yang berupa gambar tentang alam atau lingkungan dan
siswa mengomentari gambar tersebut. Kegiatan mendengarkan lagu dan melihat
gambar tersebut dilakukan karena sekolah tempat penelitian tidak memungkinkan
untuk mengajak siswa ke luar atau ke alam bebas.
Setelah siswa dapat
berimajinasi tentang alam atau lingkungan, selanjutnya siswa menukarkan
puisinya dengan siswa lain dan mendiskusikannya. Setelah itu, siswa dapat
membacakannya di depan kelas untuk dikomentari oleh siswa lain. Kegiatan dapat
diakhiri dengan menyempurnakan puisi masing-masing. Selanjutnya puisi tersebut
dikumpulkan dan dijilid untuk menjadi salah satu koleksi perpustakaan.
Hasil refleksi siklus I
menunjukkan bahwa baik pertemuan I maupun II dalam kegiatan pembelajaran ini
telah dapat mencapai tujuan pembelajaran dan tidak mengalami kesulitan. Lagu
(syair lagu) yang dipergunakan guru sebagai alat dan bahan apresiasi dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi. Siswa antusias dalam
mengikuti kegiatan pembelaaran. Karena itu, kegiatan pada siklus II tidak
dilaksanakan dalam penelitian ini.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan beberapa temuan pada hasil penelitian
ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. (1) Kemampuan apresiasi siswa
terhadap puisi dapat semakin meningkat jika guru menggunakan lagu sebagaii aat
apresiasi. (2) Lagu yang dipilih sebagai sarana dan materi pembelajaran adalah
lagu yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dapat menarik minat belajar
siswa.
Selanjutnya, peneliti menyarankan beberapa hal
berikut ini: Hendaknya guru dapat memilih lagu yang sesuai dengan minat siswa
agar siswa lebih tertarik dan suasana belajar lebih mnyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chenfeld, M. B. (1978). Teaching
Language arts creotitivel. New York: Harcourt Brace Jovanovich Mc.
Depdikbud. (1993). Kurikulum
1994. Garis-ganis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa Indanesia.
Jakarta: Depdikbud.
Hoffer, C.R (1984). A. Concise
Introduction to Music Listening. California: Wordsworth Publismg Company.
Jamalus (1988). Pengajaran
Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Depdikbud
Kartono,K. (1982) Psikologi
Anak. Bandung: Alumni.
Kemmis, S danTaggart, R.M.
(1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakm University Press.
Maley, A. (1987). Poetry
And Songs as Effective Language Learning Activities. Interactive Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Murphey, T. (1990). Song
and Music in Language Learning: An Analysis of Pop Song Lyric and The Use of
Song ‘and Music in Teaching English to Speakers of other Langauage. New
York: Peter Lang
Orlova, N. (1997). Developing
Speech Habits with The Help of songs. English Teachmg Forum, 35.
Rahayu, N. S. (2000).
“Penggunaan Lagu Anak-anak dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Kelas 4
Sekolah Dasar Negeri Penanggungan 02 Kecamatan Klojen Kotamadia Malang.” Tesis.
Malang:PPS UNM.
Richard, C. J. dan Rogers
S. T. (1990). Aporoarches and Methods in Language Teachmg.
Simbiok, F. (1 993).
“Penggunaan Lagu Rakyat Sebagai Bahan Ajar Membaca Permulaan Murid-murid
Sekolah Dasar di Irian Jaya”. Tesis. Malang: PPS IKIP Malang.
KATA PENGANTAR
Malam ini, Senin, 21 April 2008, pukul 21.00 WIB rampunglah
sudah sebuah modul perkuliahan “Metode Penelitian Bahasa dan Sastra dalam
Konteks Pembelajaran”.
Alhamdulillah, semua itu tentu tidak terlepas dari rahmat dan
karunia-Nya jua. Kepada-Nya jualah kita berserah diri semoga kita senantiasa
dalam lindungan-Nya.
Malam
ini sedikit kelelahan yang tersisa pun telah sirna jua manakala materi kuliah
ini menunjukkan bentuknya. Yang ada hanya sebuah asa semoga untaian baris yang
terbaca akan memberi makna bagi pembaca. Bersedialah membaca dan mencermati
setiap baris modul ini dengan hati nurani. Melalui kajian ini pula, khususnya
konteks PTK pada bab terakhir modul ini, betapa kita para guru dan mungkin juga
para calon guru dihadapkan pada banyak masalah dalam pembelajaran.
Masalah-masalah itu akan tergambar jelas manakala kita bersedia melihatnya dengan
hati nurani. Pertanyaannya adalah selama 20 tahun saya menjadi guru, apa
sebenarnya yang telah saya lakukan? Apakah saya sudah mengajar dengan benar?
Apakah saya pernah memarahi siswa saya hanya karena keterbatasan ilmu saya?
Apakah cara saya mengajar dari tahun ke tahun selalu menggunakan strategi yang
sama? Apakah buku panduan yang saya gunakan masih buku panduan yang saya
gunakan 20 tahun yang lalu? Apakah semua siswa memahami dengan baik penjelasan
saya? Inilah antara lain pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan hati
nurani. Jika itu adalah masalah, marilah kita mengkaji dan memikirkan solusinya
melalui PTK.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa sebagian besar isi bahan ajar ini penulis kutip
sepenuhnya tanpa perubahan bahasa dari sumber aslinya. Hal ini disebabkan
bahasa penulis buku sumbernya memang sudah cukup komunikatif. Di sisi lain, ada
beberapa bagian dari buku sumber/buku rujukan untuk mengembangkan konsep bahan
ajar ini penulis sarikan kembali dengan harapan akan lebih mudah dipahami oleh
pembaca. Penulis juga mewarnai isi modul ini dengan pengalaman penulis sebagai
seorang guru yang terkadang juga melakukan penelitian. Oleh karena itu, untuk
memantapkan pemahaman pembaca terhadap konsep-konsep penelitian, disarankan
pembaca juga membaca buku aslinya (silakan cermati Daftar Pustaka).
Fokus
utama kajian modul ini adalah penelitian kualitatif dan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK). Hasil akhir yang diharapkan adalah pembaca dapat memahami dengan
baik konsep dasar penelitian kualitattif, perbedaan penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif, dan PTK. Lebih lanjut, berdasarkan pemahaman itu, para
pembaca khusunya mahasiswa yang memprogramkan Mata Kuliah Metode Penelitian
Bahasa dan Sastra dapat menyusun
proposal penelitian kualitatif baik yang berupa PTK maupun penelitian
kualitatif yang bukan PTK. Intinya proposal yang diharapkan dapat dihasilkan
oleh mahasiswa adalah proposal penelitian dalam konteks pembelajaran. Namun,
tidak tertutup pula kemungkinan mahasiswa dapat menyusun proposal penelitian
tentang bahasa yang terlepas dari konteks pembelajaran. Setidaknya, modul
sederhana ini akan dapat memberikan urunan yang berarti bagi pembaca. Selamat
membaca, selamat berkarya, dan selamat berim-provisasi.
Darussalam, 20 April 2008
Penulis
0 komentar:
Posting Komentar